(Sejarah Gunung Gamping)
Di Cagar Alam Gunung Gamping yang terletak di dusun gamping tengah, desa ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, DIY Yogyakarta terdapat sebongkah batu besar yang masih berdiri kokoh, batu besar itu merupakan saksi bisu dari keberadaan gunung gamping di masa lalu, Batu besar itu menurut ahli geologi diperkirakan berusia 50 juta tahun dan mengandung kapur yang berkadar tinggi. Gunung gamping sendiri dulunya berderet panjang Membujur dari timur ke barat dari kampung Delingsari (Padukuhan Gamping Tengah) hingga Padukuhan Tlogo, Desa Ambarketawang.
Hingga tahun 1937, Gunung Gamping masih berdiri kokoh memanjang. Karena ekploitasi penambangan yang besar-besaran, yang tersisa kini hanyalah gundukan batu besar yang tersisa dan menjadi monumen keberadaan Gunung Gamping. Sejak zaman dahulu material dari gunung selalu digunakan untuk bahan material dan pewarna tembok. Ketika Era penjajahan tiba, penambangan dilakukan makin menjadi, Sebagian besar Material dari gunung gamping di gunakan oleh pemerintahan kolonial untuk membangun rumah-rumah loji. Selain itu pabrik-pabrik gula di Yogyakarta pada masa itu turut andil dengan hilangnya gunung gamping. Kapur dari gunung gamping sering sekali digunakan sebagai media pemurnian tebu untuk dijadikan kristal gula.
Berdasarkan Junghuhn seorang peneliti asal Belanda, dalam catatannya menuliskan kronologis di mulainya pengerukan kekayaan alam dari gunung gamping. Dalam catatannya dia juga membuat sketsa gunung gamping (gambar sudah tertera di atas) yang menarik dan dibuat di java album 1849. Pada masa itu gunung gamping berupa perbukitan karst luas dengan bukit-bukit gamping yang mencapai 150 kaki atau sekitar 50 meter dari permukaan tanah. Berdasarkan penuturan junghuhn pada tahun 1883, dikeluarkan suatu aturan yang dikenal dengan "pranatan" yang membolehkan penggalian batu gamping. Alhasil tragedi hilangnya gunung gamping pun di mulai, batu-batuan gamping mulai di eksploitasi besar-besaran untuk pembangunan pada masa zaman belanda dulu baik itu untuk bangunan loji hingga digunakan untuk bahan pengolahan pabrik gula. Selepas penjajahan berlalu, penambangan masih terus dilanjutkan oleh masyarakat dengan mengeruk tambang dari gunung gamping yang tersisa, akibat penambangan itulah gunung yang tadinya ribuan hektar menjadi sekian ratus meter. Pada tahun 1950-an, setelah eksploitasi tambang besar-besaran dari gunung gamping, yang tersisa hanyalah bongkahan yang setinggi kurang lebih 15-20 m. Dr Werner Rothpletz, seorang ahli geologi asal swiss pada tahun 1956 pernah mengabadikan gambar bongkahan batu bagian dari gunung gamping yang tersisa setinggi 15-20 meter yang berdiri sendiri diantara pesawahan (bisa cek di google).
(Sejarah Singkat Bekakak)
Dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta, area Gunung Gamping seluas 1,082 hektare ditata menjadi cagar alam yang menyimpan ragam ekosistem flora dan fauna burung.
Gunung gamping yang terlihat saat ini ternyata menyimpan catatan sejarah yang panjang diantaranya ada upacara adat yaitu Bekakak. Hal ini yang juga dijelaskan oleh juru kunci Gunung Gamping yang bernama Bapak Gito. Beliau menceritakan kepada kami tentang sejarah awal mula adanya batu gamping besar yang berukuran tinggi kurang lebih 15-20 meter dan lebar sekitar 10 meter sampai dengan upacara adat yang bernama Bekakak. Menurut Pak Gito ternyata dahulunya daerah gamping merupakan daerah perbukitan yang struktur batunya adalah jenis batu gamping. Di perbukitan gamping juga ada sekitar enam (6) gua yang ditinggali oleh warga. Dari kisah inilah yang nantinya ada upacara adat yang bernama Bekakak.
Sejarahnya dulu gua yang ditinggali oleh warga tersebut runtuh akibat gempa dan menelan banyak korban, diantaranya para abdi dalem yang mencari korban direruntuhan tersebut juga ikut tertimbun reruntuhan gua. Namun karena tingkat kepercayaan orang jaman dahulu sehingga ada yang menyebutkan bahwa runtuhnya gua karena yang menunggu (jin) kurang sesajinya. Pada akhirnya warga masyarakat diperintahkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk membuat upacara bekakak, dimana bekakak ini terbuat dari tepung ketan dibentuk patung temanten laki-laki dan perempuan yang didalamnya terdapat juruh atau air gula kelapa. Bekakak ini lalu disembelih di sekitar gunung gamping tersebut hingga saat ini. Namun lokasi tragedi gua runtuh yang banyak menelan korban tersebut tidak diketemukan lokasinya, akan tetapi menurut Pak Gito, pernah ada penambang batu kapur yang menemukan tulang-tulang manusia tapi entah disebelah mana, karena dulu disekitar gunung gamping ini (gamping tengah) ada sekitar 100 tobong gamping (pembakaran kapur).
Saat ini ditahun 2020 Perbukitan Gamping itu sudah hilang dan tersisa Batu Gamping yang merupakan bagian dari bukit gamping tersebut dan menjadi tempat upacara bekakak yang diadakan setiap bulan Sapar.
SEJARAH SINGKAT GUNUNG GAMPING DAN BEKAKAK
Теги
cagar budayatempat wisatawisatasejarahwisata sejarahgunung gampinggampingperbukitan gampingbukitpegunungan kapurpegunungansri sultan hamengkubuwono 1HB 1ambarketawangjuru kucibekakakbudayaupacara adatadatkirab budayakirabupacara bekakakjejak sejarah gampingslemanupacara adat bekakakpohon besargunungbukit gampingperbukitanjogjakartapesanggrahan ambarketawangkeraton ambarketawangHB IXHB 9hamengkubuwonosejarah yogyakarta