Ke Waerebo tanpa naik ke rumah adat Waerebo.
Itulah kami. Waerebo tutup lagi, padahal Desember 2020 sempat buka. Di Ruteng, di hotel dan penyewaan motor tak ada info bhw Waerebo tutup lagi.
Kami jalan ya jalan saja. Santai. Tanpa rencana detil. Meski gagal naik ke Waerebo, perjalanan dgn motor yg melelahkan fisik tetap membahagiakan hati.
Jarak Ruteng ke Waerebo 60 km yg kalau di kota bisa kita tempuh dalam waktu 1 jam, jarak itu kami tempuh dalam tempo 6,5 jam dgn motor. Kok lama? Iya...karena kami mampir ke Todo Traditional Village terlebih dahulu, menambal ban yg gembos gara2 jalanan gunung aspalnya jebol, nongkrong makan dan minum di tiap pengkolan desa. Alhasil, berangkat jam 08.44 dari Ruteng, tiba di desa terakhir yakni desa Denge di bawah Waerebo pada pukul 15.30.
Kecewa?
Ngga juga. Karena kami menikmati perjalanan, melihat gunung, hutan, laut, pulau Mules di selatan desa Dintor, juga merasakan bobroknya jalanan dari desa ke desa.
Kami merasa kasihan pada masyarakat yg minim fasilitas, tanpa signal hp, hidup sederhana, makan ubi talas dan ikan dari menjala di laut. Tapi sebenarnya justru sebaliknya, hidup kita yg lebih patut dikasihani karena kita sangat bergantung pada bermacam teknologi.
Justru kesederhanaan, daya juang dan betapa strong-nya mereka membuat kami malu atas berbagai fasilitas dan "kemanjaan" hidup yg kami dapat.
Kami belajar banyak dari perjalanan dengan motor menyusur desa-desa di Kabupaten Manggarai, Flores - Nusa Tenggara Timur. Daya tahan mereka, daya hidup mereka, sungguh menginspirasi kami.
Waerebo...
Kami akan datang lagi...
Ещё видео!