JAKARTA, HUMAS MKRI - Sejumlah pensiunan PNS dan BUMN mengajukan pengujian Pasal 222 dan Pasal 223 Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Perkara Nomor 42/PUU-XX/2022 digelar di Ruang Sidang Panel MK pada Kamis (14/4/2022). Sidang Pemeriksaan Pendahuluan ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih.
Pasal 222 UU Pemilu berbunyi, “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.” Pemohon mendalilkan pasal tersebut hanya mencantumkan ambang batas minimal tanpa ambang batas atas. Hal ini berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon sebab berpedoman pada kontestasi pada pemilu 2014 dan 2019 lalu dengan tidak adanya batas maksimal ambang batas tersebut, partai politik yang berkoalisi memborong kursi anggota dewan atau suara sah nasional. Dengan kata lain, hak para Pemohon untuk mendapatkan kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden dibatasi oleh syarat minimal ambang batas tanpa dilengkapi dengan maksimal ambang batasnya.
“Pasal ini memanipulasi hak konstitusional pemilih, menciutkan jumlah pasangan calon presiden sehingga membuka akses oligarki, mengakibatkan pembodohan publik karena hasil pemiliahn 2019 dijadikan sebagai pedoman untuk pemilihan nantinya, merusak trilogi pasal 6A UUD 1945, dan publik belum mengetahui hasil Pileg 2019 akan digunakan sebagai syarat penting bagi parpoldan gabungan parpol untuk Pemilu 2024,” sebut Santi Lisina yang hadir dalam sidang bersama Pemohon lainnya, yakni Almizan Ulfa, Ali Syarief, dan Petir Amri Wirabumi secara virtual dari kediaman masing-masing.
Sementara berpedoman pada Pasal 223 UU Pemilu yang berbunyi, ”Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan” dan Penjelasannya, dinilai tidak memuat asas inklusivitas, transparan, dan terbuka. Hal ini terjadi akibat pemaknaan yang dipahami semua partai politik bahwa penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden menjadi bagian dari hak prerogatif ketua umum partai politik dengan atau tanpa persetujuan/pertimbangan pengurus Parpol yang lain. Dengan demikian, hal ini berpotensi menghilangkan kesempatan terpilihnya para Pemohon yang juga menjadi bagian dari putra/putri terbaik Indonesia yang lain.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 222 dan Pasal 223 UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kerugian Konstitusional
Dalam sidang tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan catatan perbaikan yang perlu dilakukan para Pemohon, di antaranya perbaruan PMK 2/2021 yang perlu dijadikan pedoman dalam penyusunan permohonan sebagaimana ketentuan MK untuk memudahkan dalam membuat permohonan. Selain itu, ia juga meminta agar para Pemohon menguraikan satu demi satu hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 yang dinilai terlanggar oleh UU yang diujikan pada perkara ini.
“Perkuat uraian mengenai kerugian konstitusional para Pemohon yang harus memperhatikan permohonan terdahulu sehingga bias dibangun argumentasi yang dapat meyakinkan Mahkamah dengan batu uji yang banyak ini harus diuraikan satu per satu,” jelas Enny.
Berikutnya Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati agar para Pemohon menyederhanakan permohonan terutama pada bagian kedudukan hukum para Pemohon. Ada beberapa uraian pada permohonan yang juga tumpang tindih sehingga perlu disempurnakan kembali menjadi permohonan yang lebih sederhana, runut, dan mudah dipahami. Hal senada juga disebutkan Wakil Ketua MK Aswanto agar para Pemohon menyederhanakan permohonan dengan penekanan pada pembeda alasan pada permohonan agar dapat meyakinkan Mahkamah dalam menyikapi perkara ini dari perkara-perkara sebelumnya yang telah diputus oleh Mahkamah.
Sebelum menutup persidangan, Aswanto menyebutkan, para Pemohon diberikan waktu hingga 27 April 2022 mendatang untuk melakukan perbaikan permohonan. (*)
Ещё видео!