Kitab Al-Hikam merupakan karya monumental mursyid ke tiga tarekat As-Syadziliyyah, sehingga menjadi sumber utama untuk memahami ajaran tarikat AsSyadziliyyah dan termasuk disiplin ilmu dalam memahami kajian tasawuf, sehingga kitab ini menjadi karya terbaik dan komprehensif yang dikarang oleh Ibn ‘Athaillaah As-Sakandari.
Kitab ini ditulis penulisnya secara ‘hemat’ karena tidak mencantumkan rujukan berupa dukungan ayat Alquran, Alhadits dan berbagai argumentasi lainnya. Lebih dari itu, kitab ini sepertinya ditulis sebagai refleksi atas pengalaman penghayatan spiritualitas penulisnya. Namun penyajiannya menjadi keunggulan tersendiri bagi Al-Hikam, karena di satu sisi, kekayaan (kedalaman) makna yang dikandungnya tetap terjaga hingga ratusan tahun, kemudian baru bisa digali dengan sejumlah karya komentar (syarh) yang mencoba mengelaborasikan kekayaan maknanya. Al-Hikam adalah sebuah kitab yang diperuntukkan bagi para pejalan (sâlik), yang di dalamnya berisi panduan lanjut bagi setiap pejalan untuk menempuh perjalanan spiritual. AlHikam berisi berbagai terminologi suluk yang ketat, yang merujuk pada berbagai istilah dalam AlQur'an. Kitab ini merupakan kumpulan mutiara-mutiara cemerlang untuk meningkatkan kesadaran spiritual, tidak hanya bagi para salik dan murid-murid tasawuf, tetapi juga untuk umumnya para peminat olah batin Kitab al-Hikam juga dipandang sebagai kitab kelas berat bukan saja karena struktur kalimatnya yang bersastra tinggi, melainkan juga kedalaman makrifat yang dituturkan lewat kalimat-kalimatnya yang singkat. Ia menjadi kitab yang bahasanya luar biasa indah. Kata dan makna saling mendukung melahirkan ungkapan-ungkapan yang menggetarkan. Kitab ini menjadi tuntunan praktis bagi seorang muslim di tengah-tengah kesibukan dan gelombang materalisme yang kuat.
Kitab al-Hikam mengandung beberapa ajaran penting tentang pengelolaan diri, antara lain:
1. Orang yang arif adalah orang yang tidak membanggakan amal ibadahnya. Orang yang bangga dengan amalnya kurang pengharapan kepada Allah, sehingga apa saja yang diperolehnya dianggap karena amal ibadahnya, bukan karena rahman dan rahimnya Allah. Sedangkan orang yang arif/ bijaksana, dalam meneguhkan imannya kepada Allah, selalu berpegang teguh kepada kekuasaan dan iradah yang ada pada Allah SWT.
2. Amal ibadah yang kuat tegak dan kokoh ikatannya dengan iman ialah ibadah yang dilaksanakan oleh hati yang ikhlas. Karena ikhlas adalah ruh amal, dan amal seperti itu menunjukkan tegaknya iman. Apabila amal ibadah tidak dilandasi keikhlasan maka akan membawa si hamba menjadi angkuh dan lupa diri.
3. Hati yang di dalamnya hidup dengan keimanan akan merasa sedih apabila iman dan ta’at itu hilang dari padanya. Hati yang beriman itu sangatlah senang apabila ia telah melaksanakan kebaikan atau ketaatan.
4. Orang yang beramal dengan menanti-nanti waktu senggang sama halnya dengan orang yang dipermainkan oleh waktu. Waktu berjalan terus, sedangkan waktu luang pun belum juga ada, sehingga amal pun belum dilaksanakan. Apabila waktu beramal sangat sempit, maka peluang untuk beramal pun boleh jadi tidak mencukupinya.
5. Apabila manusia memahami suatu cobaan yang datang dari Allah dan diterima dengan keridhaan hati, maka cobaan itu akan dirasakannya menjadi sesuatu yang sangat ringan. Allah memberi cobaaan kepada para hamba-Nya, tidaklah berarti Allah membencinya, akan tetapi Allah menunjukkan kasih sayang dengan memperhatikan hamba yang dicoba itu.
Ещё видео!