Katekese BKSN Minggu II
Nabi dan Hakekat Kenabian
Pada Minggu I Bulan Kitab Suci Nasional, kita telah mendengarkan katekese tentang arti dan sejarah singkat BKSN serta dasar pemilihan tema BKSN 2024. Pada Minggu II ini, kita akan mendengar katekese tentang nabi dan hakekat kenabian. Apa itu nabi? Bagaimana seseorang bisa menjadi nabi?
Ada sejumlah kata Ibrani yang menunjukkan sosok seorang nabi, yakni nabî’ [נָבִיא], artinya nabi (2 Taw 29:25), hozeh [חֹזֶה], artinya pelihat (2 Taw 19:2) dan ro’eh [רֹאֶה], artinya pelihat (1 Taw 26:28; 2 Taw 16:7, 10). Kitab terjemahan bahasa Yunani (Septuaginta: LXX) menerjemahkan semua istilah itu dengan istilah prophetes [προφήτης]. Terkadang istilah prophetes juga dipakai untuk menerjemahkan istilah kata Ibrani מַלְאָךְ (malak), yang artinya utusan (2 Taw 36:15). Prophetes memiliki makna: berbicara di depan orang-orang lain, berbicara sebelum peristiwa terjadi, berbicara atas nama seseorang. Dari akar katanya, nabî’ berarti memanggil berkumpul.
Eksistensi atau keberadaan kenabian
Seorang nabi adalah pribadi yang memiliki otoritas untuk berbicara atas nama Allah. Sebagian besar otoritas itu berasal dari lingkungan social pendengar sabda, dan dia adalah “pelayan” masyarakat yang mendengar sabda itu. Dalam kitab suci, nabi memiliki otoritas oleh panggilan Allah untuk berbicara atas nama Allah (bdk. Yos 1:1-2; 2 Raj 14:25). Nabi mendapat pewahyuan akan pathos Allah. Pathos adalah ungkapan kehendak Allah yang ingin terlibat dalam kehidupan manusia, dan nabi sendiri berkontemplasi atas situasi dunia sekitarnya. Pathos Allah itu bisa berupa Allah gembira, prihatin, kecewa, marah atau sedih atas tindakan manusia (bdk Ul 10:14-15).
Sang nabi dapat mengenal pathos Allah berkat kontemplasinya terhadap dunia sekitar. Dalam kontemplasinya, nabi terbuka terhadap Allah, sehingga menimbulkan simpati dan keselarasan jiwa sang nabi dengan perasaan Allah. Seorang nabi adalah homo sympathetikos, yakni orang yang seluruh keberadaannya (eksistensinya) digerakkan oleh perasaan Allah. Allah mengungkapkan perasaan-Nya, sang nabi menaruh simpati atas perasaan itu, sehingga sang nabi “sehati-seperasaan” dengan Allah. Akan tetapi bukan berarti bahwa sang nabi kehilangan pribadinya. Kesatuan perasaan itu bukan secara unio mystica (kesatuan mistik), tetapi secara unio sympathetica (kesatuan simpatik).
Ke-“sehati-seperasaan” itu membuat seorang nabi yakin bahwa ia “disuruh” untuk berbicara atas nama Allah dan berani melawan nabi-nabi palsu (lih. Yer 14:14; 23:16; 26:12,14-15; Yeh 13:2-3,6-7). Allah mengilhami sang nabi, dan “memaksa”nya untuk menerima tugas kenabian itu (lih. Am 3:3-8; Yer 20:7,9). Dalam ilham itu Allah tidak pertama-tama memperkenalkan Diri, tetapi mengkomunikasikan kehendak atau isi hati-Nya.
Nabi tidak mewartakan suatu ajaran sistematis atau teoritis tentang Allah, tetapi memberi kesaksian tentang sikap dan reaksi Allah. Para nabi PL menyatakan pesan Allah, berbicara atas nama-Nya dengan mengatakan: “beginilah firman Tuhan”. Inspirasi atau pengilhaman itu diterima lebih sering berupa penglihatan, atau kadang juga pendengaran (mis. Yes 5:9).
Para nabi juga kerap melakukan tindakan simbolis, yang biasanya memiliki ada 3 elemen utama, yakni tuntutan (suruhan ilahi), pelaksanaan suruhan itu, dan interpretasi (penjelasan) dari tindakan itu. Misalnya, perkawinan Hosea (Hos 1-3), selibat Yeremia (Yer 16), dst).
Secara umum ajaran para nabi menyangkut:
1) monoteisme (hanya Yahwe satu-satunya Allah yang benar),
2) moralitas (dosa menjauhkan manusia dari Allah, dosa adalah pelanggaran pada keadilan Allah, pada cinta Allah, dan pada kekudusan Allah, carilah Allah dan lakukan segala perintah-Nya),
3) penantian atau pengharapan akan keselamatan (janji akan seorang mesias).
Demikian katekese singkat kita yang kedua ini. Semoga menginspirasi kita untuk ikut terlibat menjadi nabi jaman now. Terimakasih.
Ещё видео!