Kartini Sitompul yang merupakan pewaris dari pemilik mesin pencetak uang pertama Republik Indonesia, Gortap Sitompul, mengajukan uji materiil terkait aturan mengenai pinjam pakai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Sidang perdana perkara dengan Nomor 100/PUU-XIV/2016 tersebut digelar pada Senin (14/11) di Ruang Sidang MK.
Diwakili oleh Acep Januar, Pemohon mengajukan uji materiil Pasal 1740 KUHPerdata. Pasal 1740 KUHPerdata menyatakan:
“Pinjam Pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini, setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu, akan mengembalikannya”.
Ayah Pemohon, Gortap Sitompul, merupakan seorang pengusaha yang meminjamkan mesin cetaknya untuk mencetak uang kertas ORIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Propinsi Soematra) tahun 1946 di Sumatera setelah Indonesia merdeka. Atas jasanya itu, pemerintah memberikan tanda kehormatan Bintang Jasa Utama untuk Gortap Sitompul berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 060/TK/Tahun 2009 tertangal 6 November 2009.
Ia menjelaskan demi kepentingan pencetakan uang pertama RI, orang tua Pemohon menggunakan uang sendiri untuk membeli tinta dan kertas khusus bagi pencetakan uang tersebut dari Singapura. Namun, hingga orang tua Pemohon meninggal, keberadaan mesin-mesin tersebut tidak diketahui keberadaannya dan orang tua Pemohon mewasiatkan agar Pemohon mencari keberadaan mesin-mesin tersebut. Terhadap jasa orang tua Pemohon tersebut, Pemohon mengusahakan agar orang tua Pemohon memperoleh tanda penghormatan atas jasanya terhadap Pemerintah serta mengusahakan agar Pemerintah dapat mengganti biaya yang sudah dikeluarkan oleh orang tua Pemohon untuk biaya tinta dan kertas khusus tersebut.
Akan tetapi, permohonan tersebutbaru terwujud pada era Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Itupun hanya sebatas penganugerahan tanda kehormatan berupa “Bintang Jasa Utama”, sedangkan penggantian biaya tinta dan kertas sampai saat ini belum memperoleh penggantian. Permasalahan pun muncul ketika Pemerintahan Joko Widodo menganggap permohonan pemohon kedaluwarsa. Hal tersebut membingungkan pemohon dan memberi ketidakpastian hukum.
“Terakhir inilah, yang membuat saya pusing, dari Menteri Keuangan sebelumnya, waktu SBY, Menterinya Sri Mulyani mengatakan, ‘Ya, dihargai kita, diakui barang itu’. Tapi setelah Joko, Pak Joko bahwa ini sudah kedaluwarsa,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams tersebut.
Padahal, lanjut Pemohon, alat pencetak uang tersebut bersifat dipinjamkan, bukan disumbangkan. Ia berharap agar pemerintah dapat menemukan mesin tersebut dan mengembalikan kepada pemohon sebagai ahli waris. “Jadi, kami mohon hukum apalah pada kami yang datang lagi. Apakah barang kami itu tidak dikembalikan? Atau bagaimana?” ujarnya.
Akan tetapi, dengan adanya menilai ketentuan Pasal 1740 KUHPerdata, Pemohon merasa dirugikan karena tidak menerangkan atau menyebutkan secara tegas yang dimaksud pihak lainya, yang menyebabkan Pemerintah RI tidak memiliki itikad baik karena beranggapan tidak harus atau wajib mengembalikannya mesin yang telah digunakan untuk mencetak uang tersebut. Oleh karena itu, dalam petitum-nya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa materi muatan Pasal 1740 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) bertentangan dengan UU 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai tidak memberikan hak kepada Pemerintah RI untuk mengembalikan barang yang dipinjamkan (telah dipakai).Yang diajukan oleh Pemohon di sini, Pasal 1740 KUHPerdata ini, kalau kita lihat di sini ini adalah sudah norma yang bagus, sudah benar. Cuma penerapannya yang di lapangan itu yang mungkin itu yang sulit. Karena ini pihak yang meminjam, kan begitu, wajib mengembalikan barang yang dipinjam kepada yang meminjamkan. Itu intinya. Itu sudah benar, namun apakah ini bisa dilakukan oleh mereka? Benarkah dia meminjam? Benarkah orang ini meminjamkan? Adakah barang yang dipinjam? Di mana barang yang dipinjam itu bisa lagi dibuktikan? Nah, itu di sini masalahnya. Jadi, bukan di soal undang-undangnya,” tuturnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Patrialis yang menjelaskan permohonan pemohon terkait dengan kasus-kasus konkret yang bukan merupakan kewenangan MK. Ia menjelaskan peradilan Mahkamah Konstitusi itu merupakan peradilan ketatanegaraan. “Jadi sebetulnya kami ingin juga untuk membantu, tapi secara institusional memang agak terbatas langkahnya, Ibu. Jadi saya ingin sampaikan itu sehingga nanti Ibu jangan tidak boleh kecewa sudah sampai ke Mahkamah Konstitusi pun sudah berjuang sebagai pilar terakhir yang Ibu sampaikan,” tandasnya.
Pemohon diberikan waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permohonan. Sidang berikutnya akan digelar dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/lul)
Ещё видео!