Komitmen iklim nasional dan lokal semakin diperkuat dengan adanya target penurunan emisi untuk mencapai Net-Zero Emission (NZE) di pertengahan abad ini. Dengan melihat hal ini, proses dekarbonisasi menjadi penting, terlebih di dekade ini untuk mencapai puncak emisi (IESR, 2021). Sebagai 10 negara terbesar dalam menghasilkan emisi, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi setidaknya sebesar 31% pada tahun 2030. Namun, dalam prosesnya, menghadapi dominasi energi fosil sebagai sumber utama emisi menjadi tantangan tersendiri. Melihat lebih dalam lagi di sektor energi, bauran energi terbarukan masih tertinggal jauh dari target pada tahun 2025, hanya separuh lebih sedikit, sekitar 12,3% pada akhir tahun 2022 (ESDM, 2023). Sehingga, penurunan konsumsi energi fosil menjadi salah satu target prioritas pemerintah.
Energi fosil tidak hanya membantu dalam isu ketahanan energi, namun sangat berperan besar dalam roda perekonomian. Seperti contoh, batubara menjadi komoditas ekspor utama Indonesia yang berkontribusi terhadap 50% ekspor batubara global sepanjang 2023 (Bisnis.com, 2023). Di dalam negeri sendiri, sekitar 82% konsumsi batubara diarahkan untuk sektor pembangkit listrik, diikuti untuk sektor industri lainnya seperti logam, pupuk, dan tekstil (BSKJI, 2022). Namun, batubara menjadi sumber intensif emisi karbon terbesar dibandingkan dengan energi fosil lainnya. Sehingga, pembatasan pembangunan PLTU batubara menjadi salah satu strategi pemerintah yang disahkan melalui Perpres 112/2022.
Salah satu poin dalam Perpres tersebut adalah melakukan pensiun dini terhadap beberapa PLTU yang dianggap layak secara ekonomi dan teknis. Tetapi, mempersingkat usia pakai PLTU akan berdampak tidak hanya bagi pemilik, namun juga pekerja, masyarakat, dan juga rantai pasok hulu yang akan berpengaruh. Terlebih lagi, beberapa daerah di Indonesia, pertambagan batubara menjadi sumber utama pendapatan daerah, namun ketimpangan juga terjadi sangat besar di daerah-daerah tersebut. Narasi transisi berkeadilan pun kiat digaungkan untuk memastikan bahwa memenuhi ambisi iklim juga harus memastikan keadilan bagi semua pihak, sehingga menjadi penting untuk dimasukkan ke dalam agenda pembangunan.
Konsep transisi berkeadilan merupakan konsep yang bertujuan untuk menjawab tantangan terkait ketidakadilan, penurunan kualitas lingkungan, dan juga ketenagakerjaan. Berdasarkan hasil studi IESR, beberapa negara seperti Jerman, Afrika Selatan, Australia, dan Kanada sudah menerapkan konsep transisi berkeadilan dalam upaya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Pembelajaran dari beberapa negara tersebut mengerucut dengan mendorong adanya tata kelola pemerintahan yang baik, mendorong diversifikasi ekonomi, keterlibatan seluruh pihak dalam perencanaan, dan adanya mekanisme pembiayaan untuk mempersiapkan dampak transisi.
Melihat tantangan yang begitu besar, peran pemangku kebijakan menjadi sangat penting untuk membangun pondasi transisi berkeadilan yang akan dibangun. Penguatan secara legal dan institusional menjadi hal yang tak terelakan untuk memastikan pelaksanaan transisi berkeadilan terjadi dan mengikuti prinsip yang sesuai dengan karakterisasi ekonomi dan sosial masyarakat yang ada. Oleh karena itu, IESR ingin melihat sejauh apa Indonesia telah memahami dan merencanakan transisi berkeadilan dan prinsip apa saja yang dinyatakan penting dalam pelaksanaannya dalam pelaksanaan proyek yang terdapat di JETP
Ещё видео!