Editorial Media Indonesia: Komitmen Menjaga Demokrasi. KONGRES PDI Perjuangan yang tengah berlangsung di Bali tidak hanya penting buat partai berlambang banteng moncong putih itu, tapi juga bernilai bagi politik negeri ini. Di situlah para ketua umum partai politik memperlihatkan betapa persaudaraan tak lantas lekang oleh perbedaan sikap dan pandangan politik.
Mustahil disangkal, perbedaan sikap dan pandangan politik di antara partai koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin belakangan ini terasa begitu kental. Perbedaan itu berpangkal pada perlu tidaknya koalisi membuka pintu kepada partai politik lain untuk bergabung.
Di satu sisi, Partai NasDem, Golkar, PKB, dan PPP bersepakat bahwa koalisi Jokowi-Amin sudah cukup dan tak perlu anggota baru. Bagi mereka, tidak sepatutnya ada partai politik yang sama sekali tak berkeringat, bahkan merupakan rival dalam pilpres, kemudian bergabung dalam kekuasaan.
Di sisi lain, meski tidak terang-terangan, PDIP dipersepsikan bersikap sebaliknya. Pertemuan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang juga seteru Jokowi di pilpres beberapa waktu lalu menjadi isyarat teramat kuat dari sikap tersebut.
Sikap bahwa PDIP mempersilakan partai lain masuk ke pemerintahan ialah sikap yang jelas berseberangan dengan para koleganya yang sama-sama berjuang habis-habisan untuk memenangkan Jokowi-Amin.
Dalam politik, berbeda sikap dan pandangan wajar belaka, tetapi silaturahim dan persaudaraan pantang dikesampingkan. Pada konteks itulah kita mengapresiasi kehadiran para ketua umum partai politik pendukung Jokowi-Amin di Kongres PDIP. Di tengah perbedaan sikap, mereka dengan besar hati mengamini undangan PDIP sebagai tuan rumah.
Akan lebih baik lagi sebenarnya jika Kongres PDIP itu juga dihadiri perwakilan partai-partai pendukung Prabowo-Sandiaga Uno. Sayangnya, mereka absen karena menurut Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memang tidak diundang, kecuali Prabowo yang mendapat undangan khusus. Namun, kehadiran ketua umum seluruh partai pendukung Jokowi-Amin telah menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk tetap menjalin persaudaraan.
Kendati begitu, perlu juga kita mengingatkan bahwa bukan berarti atas nama persaudaraan lantas melunturkan komitmen untuk menjaga nilai-nilai demokrasi. Menutup pintu bagi partai lain bergabung dalam koalisi pemenang pilpres ialah bagian dari upaya menjaga substansi demokrasi itu. Ia akan membuat demokrasi berada di rel yang benar, di jalur yang memungkinkan oposisi tetap bisa menunjukkan eksistensi.
Apa jadinya jika partai-partai yang kalah dalam pilpres kemudian dipersilakan ikut berjajar di barisan pemenang? Apa jadinya demokrasi dan jalannya pemerintahan lima tahun ke depan tanpa oposisi yang disegani karena sebagian dari mereka dibiarkan masuk lingkaran kekuasaan?
Sebaik apa pun sebuah pemerintahan, ia memerlukan penyeimbang atau oposisi untuk mengoreksinya. Memberi kesempatan sepenuhnya kepada koalisi pemenang pilpres menjalankan roda pemerintahan dan membiarkan mereka yang kalah sebagai pengontrol kekuasaan ialah sikap yang paling tepat.
Kita ingin soliditas koalisi pendukung Jokowi tak cuma basa-basi, juga bukan sekadar manis di permukaan seperti yang dipertontonkan di Kongres PDIP. Mereka harus solid luar dalam dengan tetap menjadikan koalisi pendukung Prabowo sebagai rival. Bukan lawan yang harus dikalahkan seperti dalam proses pilpres tentu saja, melainkan mitra tanding untuk bersama-sama membangun bangsa di posisi berbeda.
Akan lebih elok pula bagi partai-partai pendukung Prabowo, termasuk Gerindra, untuk tetap berada di luar pemerintahan sebagai pengontrol kekuasaan. Itulah kehormatan bagi pihak yang kalah. Lagi pula, bukankah mereka berulang lagi menyatakan bahwa sebagai oposisi sama mulianya dengan penguasa?
Ещё видео!