Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) berkomitmen serius dalam menyikapi maraknya kasus perkawinan anak yang terjadi di Indonesia dengan melakukan intervensi di hulu melalui penguatan sumber daya manusia (SDM) berupa edukasi. Plt. Deputi Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Rini Handayani menekankan, upaya pencegahan perkawinan anak harus dimulai dari edukasi kesehatan reproduksi baik itu kepada anak dan orang tua.
Perkawinan anak merupakan tantangan dalam pembangunan SDM dikarenakan memiliki dampak yang multiaspek dan lintas generasi. Selain itu, perkawinan anak juga merupakan bentuk pelanggaran hak anak yang dapat menghambat dalam mendapatkan hak-haknya secara optimal,” ujar Rini pada kegiatan Media Talk KemenPPPA, Jumat (12/5).
Rini mengungkapkan, ada banyak faktor yang ditengarai berkontribusi dalam perkawinan anak diantaranya faktor kemiskinan, geografis, pendidikan, ketidaksetaraan gender, masalah sosial, budaya, dan agama, serta minimnya akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif. Rini menegaskan, edukasi kesehatan reproduksi menjadi kunci utama dalam memutus mata rantai perkawinan anak di Indonesia. Baik anak maupun orang tua harus mengerti bahwa perkawinan anak memiliki dampak yang begitu besar bagi anak dimulai dari pendidikan, kesehatan, kemiskinan berlanjut sampai kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.
Dalam kesempatan tersebut, Kepala Bagian Staf Medik Fungsional Ginekologi Onkologi Rumah Sakit Kanker Dharmais, dr. Widyorini Lestari Hardjolukito Hanafy SpOG.Subsp.Onk menjelaskan bahwa perkawinan dan kehamilan anak memiliki risiko komplikasi medis terhadap ibu maupun anak yang dilahirkan itu sendiri.
“Anatomi tubuh anak perempuan belum siap menjalani proses mengandung dan melahirkan sehingga berisiko mengalami komplikasi medis baik pada ibu maupun pada anak. United Nations Population Fund (UNFPA) mencatat Obstetric Fistula sebagai kasus komplikasi medis persalinan usia anak yang sering terjadi. Obstetric Fistula merupakan kerusakan pada organ intim perempuan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Perempuan yang berusia kurang dari 20 tahun rentan mengalami Obstetric Fistula dan dapat terjadi akibat hubungan seksual di usia anak,” jelas Widyorini.
Widyorini menambahkan, perkawinan anak yang kerap kali terjadi karena KTD diakibatkan minimnya pengetahuan akan kesehatan reproduksi dan risiko yang dihadapi. Pencegahan KTD dapat dimulai dari edukasi kesehatan reproduksi baik itu kontrasepsi dan ancaman penyakit menular seksual hingga kanker serviks, edukasi gizi, dan peran orang tua serta pendidikan formal.
Ещё видео!