KOMPAS.TV - Di balik kemegahan Olimpiade Tokyo, ada pembengkakan anggaran yang harus ditanggung pemerintah Jepang.
Pembengkakan ini diperparah karena Olimpiade berlangsung di tengah pandemi yang harus dilaksanakan tanpa penonton.
Padahal penjualan tiket biasanya jadi penolong pendapatan negara yang sedang menggelar Olimpiade.
Tidak ada penonton artinya juga tidak ada kunjungan wisatawan mancanegara.
Ini juga biasanya bisa jadi kantong penerimaan buat negara.
Jepang sebenarnya sudah memasukkan teknologi super canggih, setidaknya untuk menekan biaya.
Medali yang dikalungkan misalnya, diolah dari perangkat elektronik bekas yang dikumpulkan warga Jepang.
Tempat tidur di Wisma para atlet dibuat dari daur ulang karton dan podium juara dibuat dari daur ulang limbah plastik.
Bahkan listrik selama Olimpiade, menggunakan energi terbarukan dari biomassa kayu.
Kalau anggarannya membengkak seperti yang diproyeksikan, maka Olimpiade Tokyo akan jadi Olimpiade musim panas dengan anggaran termahal.
"Inilah Olimpiade Musim Panas termahal di muka Bumi. Pembengkakan biaya (Olimpiade) Tokyo sudah melebihi 200%," kata Universitas Oxford dikutip dari AP News, Senin (26/7/2021).
Penyelenggara sempat mengatakan bahwa Olimpiade Tokyo 2020 akan menelan biaya US$ 15,4 miliar atau setara Rp 223,3 triliun (kurs Rp 14.499/US$) untuk dipentaskan.
Ini naik dari US$ 12,6 miliar dalam anggaran tahun lalu. Tambahan US$ 2,8 miliar adalah biaya penundaan 1 tahun.
Membengkaknya anggaran Olimpiade ternyata kerap terjadi.
Ini tentu jadi catatan untuk pemerintah Indonesia yang sedang menargetkan jadi Tuan Rumah Olimpiade 2036.
Tak semua negara juga mengambil kesempatan jadi tuan rumah.
Hamburg misalnya, di 2015 menolak untuk jadi tuan rumah karena menganggap menjadi Tuan Rumah adalah sebuah pemborosan.
Ещё видео!