Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (26/9) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah yang diwakili oleh Mia Amiati selaku Koordinator Jaksa Agung Muda Perdata dan TUN Kejaksaan Agung
Pada kesempatan itu, Mia menjelaskan UU Penodaan Agama tidak batasi kebebasan beragama. Akan tetapi, lanjutnya, mengatur mengenai pembatasan untuk mengeluarkan perasaan, atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama. Tak hanya itu, UU a quo juga memberi batasan untuk melakukan penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia.
“Undang-Undang Penodaan Agama tidak melarang seseorang untuk melakukan penafsiran terhadap suatu ajaran agama ataupun melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai suatu agama yang dianut di Indonesia secara sendiri-sendiri. Yang dilarang adalah dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia,” papar Mia dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Selain itu, Mia menyebut penafsiran terhadap suatu ajaran atau aturan tertentu merupakan kebebasan berpikir setiap orang. Tafsir dapat memberikan keyakinan terhadap sesuatu hal, sehingga tafsir dapat mengarah kepada kebenaran maupun berpotensi kepada terjadinya kesalahan. Walaupun penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum, namun penafsiran tersebut haruslah berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama yang bersangkutan, yaitu kitab suci masing-masing.
Dijelaskan Mia, Indonesia merupakan negara yang menganut paham agama yang tidak dipisahkan dari negara. Pemerintah memiliki Kementerian Agama yang melayani dan melindungi tumbuh dan berkembangnya agama dengan sehat. Kementerian Agama memiliki organisasi serta perangkat untuk menghimpun berbagai pendapat dari internal suatu agama.
“Jadi dalam hal ini, negara tidak secara otonom menentukan pokok-pokok ajaran agama dari suatu agama. Tetapi hanya berdasarkan kesepakatan dari pihak internal agama yang bersangkutan. Dengan demikian tidak ada etatisme dalam menentukan pokok-pokok ajaran agama pada Undang-Undang Penodaan Agama,” ucap Mia.
Sebagaimana diketahui, permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 56/PUU-XV/2017 ini diajukan oleh warga negara Indonesia yang aktif dalam Komunitas Ahmadiyah. Pemohon mendalilkan adanya norma yang diujikan, membuat mereka kesulitan melakukan ibadah. Selain itu, para Pemohon menyebut hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama. Menurut mereka, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB 3 Menteri) yang disusun berdasarkan ketiga pasal tersebut merugikan para Pemohon. SKB 3 Menteri tersebut menetapkan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat.
Pemohon meminta Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama dinyatakan secara konstitusionalitas bersyarat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, dipersangkakan terhadap warga negara di komunitas Ahmadiyah yang hanya beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum. (Nano Tresna Arfana/LA)
Ещё видео!