Setelah wacana pengampunan atau amnesti, kini muncul denda damai untuk ampuni koruptor. Wacana ini diungkap Menteri Hukum Supratman Andi Agats. Duh, apa dasar hukumnya dan alasan di baliknya? Apakah hal ini sudah tepat untuk memberantas korupsi?
Menteri Hukum melalui keterangan resmi yang diterima Kompas, Rabu (25/12/2024), mengungkapkan, pengampunan bagi koruptor tidak hanya diberikan melalui amnesti ataupun abolisi dari Presiden. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan telah mengatur mengenai denda damai sehingga memungkinkan untuk diimplementasikan sebagai pengampun para pelaku tindak pidana.
Supratman menjelaskan, denda damai adalah penghentian perkara di luar pengadilan dengan syarat pelaku tindak pidana membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung. Denda damai dapat digunakan untuk menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian negara. Adapun implementasi denda damai masih menunggu peraturan turunan dari UU Kejaksaan. Pemerintah dan DPR, menurut Menhuk, sepakat kalau peraturan turunan cukup berupa peraturan Jaksa Agung.
Lalu, apa alasan pemerintah menggagas denda damai ini? Dengan mengatasnamakan pemerintah dan rakyat Indonesia, Menkum Supratman menyebut, yang paling penting adalah pemulihan aset. Kemudian, kalau asset bisa dipulihkan dengan baik, pengembalian kerugian negara itu bisa maksimal, dibandingkan sekadar menghukum. Meski demikian, Presiden tetap akan bersikap selektif sekalipun peraturan perundang-undangan memungkinkan pengampunan kepada koruptor. Presiden juga akan berupaya memberikan hukuman yang maksimal kepada para penyebab kerugian negara tersebut.
Atas usulan denda damai bagi koruptor, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar menyampaikan bahwa Pasal 35 Ayat (1) huruf K UU Kejaksaan memang menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan kewenangan menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara. Jaksa Agung juga dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi. Namun, penyelesaian denda damai dalam pasal itu hanya berlaku untuk tindak pidana ekonomi, seperti perpajakan, kepabeanan dan cukai, yang merugikan perekonomian negara. Dari aspek teknis yuridis, korupsi tidak termasuk dalam tindak pidana yang dapat dihentikan perkaranya dengan denda damai. Kecuali jika ada regulasi yang mengatur korupsi masuk sebagai tindak pidana ekonomi.
Denda damai di UU Kejaksaan hanya untuk tindak pidana ekonomi juga ditegaskan Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman. Adapun secara hukum positif, tindak pidana korupsi sudah diatur khusus di Undang-Undang Tipikor. Tindak pidana korupsi bukanlah tindak pidana ekonomi. Korupsi adalah bentuk tindak pidana yang diatur khusus sehingga penggunaan UU Kejaksaan tidak tepat.
Zaenur pun menekankan bahwa penggunaan UU Kejaksaan tidak tepat untuk memberikan pengampunan terhadap pelaku pidana korupsi meskipun mereka membayar denda. Ia pun meminta pemerintah tidak melempar wacana yang menimbulkan polemik serta kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi. Seharusnya, pemerintah berfokus menggunakan instrumen hukum untuk memberantas korupsi, yaitu kepolisian, kejaksaan, maupun KPK.
#hukum
#indonesia
#jaksaagung
=====================================
Simak kumpulan video berita Harian Kompas: [ Ссылка ]
Info langganan Kompas.id dengan harga lebih hemat:
[ Ссылка ]
Subscribe Youtube Harian Kompas: [ Ссылка ]
Ikuti media sosial Harian Kompas
Twitter: [ Ссылка ]
Facebook: [ Ссылка ]
Instagram: [ Ссылка ]
Ещё видео!