Bedah Editorial MI: Kompensasi untuk Rakyat. INSIDEN padamnya listrik selama lebih dari 10 jam di Jabodetabek, sebagian Jawa Barat, dan beberapa wilayah lainnya di Jawa-Bali pada Minggu (5/8) tak pelak memancing kekesalan masyarakat.
Kegiatan ekonomi dan sehari-hari terganggu. Tak hanya secara langsung, tetapi juga akibat tersendatnya layanan transportasi dan telekomunikasi.
Omzet usaha mikro, kecil, dan menengah anjlok 75%. Rumah-rumah sakit kewalahan karena keterbatasan daya generator untuk penyediaan listrik cadangan. Ibu-ibu menyusui hanya bisa menahan kedongkolan melihat ASI yang susah payah dikumpulkan rusak akibat lemari pendingin tidak bisa berfungsi.
Kekesalan masyarakat terefleksikan pula pada gestur Kepala Negara. Presiden Joko Widodo tampak geram ketika mendengarkan penjelasan PT PLN (persero). Presiden lantas memerintahkan PLN agar segera memulihkan penyediaan listrik dan memperbaiki tata kelola.
Akan tetapi, kerja cepat seperti yang diinginkan Presiden tidak segera terlihat. Pemadaman listrik masih berlanjut secara sporadis, kemarin. Beban yang harus ditanggung masyarakat pun bertambah.
Wajar bila kemudian masyarakat ataupun badan usaha selaku pelanggan PLN menuntut kompensasi. Tuntutan itu sudah mulai mengemuka di hari pertama pemadaman listrik. PLN baru mengonfirmasi kemarin bahwa ganti rugi akan diberikan sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 27 Tahun 2017.
Pada bulan mendatang, pelanggan listrik pascabayar untuk kelompok nonsubsidi bakal mendapat diskon 35% tagihan beban daya pada pembayaran listrik bulan mendatang. Adapun kelompok subsidi diberi diskon 20%.Di kategori pelanggan listrik prabayar, diskon 35% atau 20% akan diberikan pada saat pelanggan membeli dan memasukkan token berikutnya. Total besaran kompensasi diperkirakan mencapai Rp1 triliun.
Bila dilihat dari kerugian materiel maupun imateriel yang timbul, kompensasi itu jauh dari sepadan. Mestinya, pemerintah berani mengeluarkan kebijakan diskon sedikitnya 50% atau bahkan menggratiskan pembayaran listrik berikutnya oleh pelanggan. Bukannya membiarkan PLN terpaku pada aturan yang sesungguhnya bisa segera diubah bila diperlukan.
Memang, Kementerian ESDM telah berencana untuk merevisi peraturan yang memuat ketentuan kompensasi dalam penyediaan listrik. Tujuannya agar hak-hak pelanggan PLN lebih terlindungi. Wujudnya baru rencana yang tidak tentu kapan rampungnya.
Itu berarti hasil revisi tidak berlaku dalam insiden padamnya listrik saat ini. Padahal, kerugian sudah timbul begitu besar dan luas akibat ketidakbecusan dalam tata kelola kelistrikan, atau lebih jauh lagi, manajemen BUMN. Bukan kali ini saja. Bila dikumpulkan, banyak keluhan terhadap pelayanan dan kinerja PLN.
Sayangnya, pelanggan selaku konsumen selalu berada di pihak yang lemah. Kebanyakan karena aturan kompensasi yang terlampau longgar dan cenderung memihak badan usaha. Setop sampai di sini.
Jajaran BUMN tidak boleh lagi dibuat manja oleh longgarnya tanggung jawab terhadap publik. Dimulai dari aturan kompensasi yang keras agar mereka tidak lengah hingga membuat kesalahan apalagi kelalaian. Jika tidak mampu mendisiplinkan, mundur dari jabatan akan lebih terhormat ketimbang sekadar minta maaf.
Yang lebih penting, sebagaimana ditekankan Presiden Jokowi, PLN harus memiliki back-up plan. Dengan back-up plan atau rencana cadangan ini, PLN bisa melakukan pemulihan dengan segera bila peristiwa pemadaman serupa terjadi lagi.
Ещё видео!