Kisah Lettu Sumadi Menembak Mati Musso Gembong Pemberontakan PKI Madiun
Ini sekelumit cerita dari operasi penumpasan pemberontakan PKI di Madiun oleh pasukan TNI. Mengutip buku," Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid II, Penumpasan Pemberontakan PKI (1948)," yang diterbitkan Markas Besar ABRI, Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, pada akhir September 1948, Madiun dan Ponorogo direbut oleh TNI. Setelah Madiun jatuh para pimpinan PKI lari menyelamatkan diri. Dalam perjalanan melarikan diri, Musso dan Amir Sjarifuddin dilindungi oleh sejumlah besar pasukan PKI.
Sementara itu pasukan TNI yang berada di sekitar Ponorogo memperoleh informasi, bahwa telah terjadi perselisihan pendapat antara Musso dan Amir Sjarifuddin. Perpisahan antara kedua tokoh komunis tersebut tidak dapat dihindarkan lagi.
Amir Sjarifuddin dengan pengawalan yang ketat meninggalkan Gunung Gambes menyusuri pegunungan Sewu menuju ke selatan, kemudian menuju ke Tegalombo terus ke Pacitan. Dari Pacitan mereka menuju ke Kismantoro dan turun ke Purwantoro. Di sini mereka bertemu dengan pasukan TLRI di bawah pimpinan Jadau yang mundur dari Solo, sehingga pasukan pengawal Amir Sjarifuddin bertambah kekuatannya.
Atas saran Jadau, mereka bergerak ke barat, maksudnya untuk mencapai Wonogiri. Akan tetapi usaha ini gagal karena Wonogiri telah dikuasai TNI. Mereka kembali ke Purwantoro, membelok ke kiri mendaki kaki Gunung Lawu. Melalui desa Jeruk, Ngerte, Watusono dan Kabang di pegunungan kapur yang tandus, Amir Sjarifuddin dan pengikutnya yang berjumlah lebih kurang 2.000 orang ini bergerak dengan pengawalan oleh pasukan Pesindo, di depan, belakang, lambung kiri dan kanan.
Di Kabang, rombongan sipil yang dipimpin Abdul Muntalib "Residen” Madiun, terpisah dari induk pasukannya. Pada tanggal 5 November 1948 di Girimarto, Abdul Muntalib dan Sritin Sekretarisnya yang merupakan anggota Pesindo tertangkap. Sedangkan Amir Sjarifuddin melalui Tawangmangu di kaki Gunung Lawu bermaksud hendak bergabung dengan pasukan TLRI di bawah pimpinan Sujoto yang menurut berita masih menguasai Purwodadi.
Baru saja tiba di Tawangmangu, mereka diserang oleh Batalyon Sambas. Sebagian dari mereka lari ke selatan, tapi Amir Sjarifuddin berbelok ke kanan menuju Sarangan, yang sepi dari penjagaan. Kemudian mereka bergerak ke utara lewat Ngrambe dan Walikukun. Sementara itu Musso bersama pengiringnya masih berada di daerah Gunung Gambes.
Terbaginya pasukan pengawal yang melindungi pimpinan PKI, mengakibatkan semakin berkurangnya personil pasukan tersebut. Untuk menutup kekurangan personil ini, PKI memaksa pemuda dan penduduk desa di daerah Gunung Gambes tersebut untuk menjadi anggota pasukan pemberontak.
Dengan penuh ketakutan para pemuda dan penduduk desa menuruti apa yang diperintahkan di bawah todongan laras senjata. Orang-orang inilah yang dijadikan perisai untuk menghadapi TNI. Jika ada operasi-operasi militer yang dilancarkan oleh TNI, pasukan dan tokoh-tokoh PKI berlindung di balik perisai tersebut.
Akibatnya banyak korban berjatuhan di kalangan orang-orang yang tidak berdaya tadi. Dengan demikian lama-kelamaan makin berkurang perisai dan pengawal pimpinan PKI.
Sementara itu, pasukan TNI dari Kompi Sumadi sekembalinya dari Badegan beristirahat di Ponorogo dan kemudian ditetapkan sebagai kompi cadangan. Mereka kemudian diperintahkan untuk mempertahankan Balong dari serangan lawan. Ketika bertugas di Balong, Komandan batalyonnya Kapten Sunandar memberitahukan, bahwa akan mengadakan peninjauan ke garis depan.
Letnan Sumadi segera pergi ke Ponorogo dengan maksud menjemput Komandannya Kapten Sunandar di sana. Dalam perjalanannya kembali ke Balong rombongan yang terdiri dari Komandan Batalyon Kapten Sunandar, Komandan Kompi I Kapten Supono, Sersan Mayor Sutadji dan Prajurit Nawawi lewat Somoroto dengan mengendarai sedan yang dipasang bendera Komandan Batalyon. Tujuan pertama dari peninjauan ini adalah memeriksa kedudukan Peleton Martawi di Somoroto.
Di Semanding mereka berpapasan dengan seseorang yang mengendarai dokar atau bendi. Rupanya dokar itu baru saja dirampas dari pemiliknya di Balong. Begitu melihat kendaraan dengan bendera Komandan Batalyon, kusir bendi yang kemudian dikenal sebagai Musso mengeluarkan pistolnya dan menembak ke arah rombongan Kapten Sunandar.
Mobil dihentikan, namun mesin tidak dimatikan, semua penumpangnya turun, dan berlindung di pinggir jalan. Prajurit membalas tembakan. Tembakan meleset mengenai kuda yang roboh seketika. Kusir dokar jatuh tersungkur dan lari menuju mobil yang telah ditinggalkan penumpangnya. la masuk ke dalam mobil untuk mengambil peluru kaliber 32 milik Kapten Sunandar, dan berusaha untuk menjalankan mobil tersebut.
Mobil tersebut tidak dapat berjalan, bahkan mesinnya mati. Rupanya ia tidak mengetahui rem yang sengaja dipasang oleh pemiliknya. Usaha untuk menghidupkan mobil dengan starter tidak berhasil.
Ещё видео!