JAKARTA, KOMPAS.TV - Prahara terus terjadi di KPK. Di lembaga anti korupsi ternyata terjadi pungli. Menjenguk tahanan ternyata dikomersialisasi, temuan dewan pengawas menunjukkan ada perputaran uang Rp4 miliar dalam pungli di rutan KPK.
Bukan hanya pungli, ada juga suara pelecehan seksual antara petugas rutan dan keluarga yang kerabatnya ditahan di KPK.
Masih belum cukup prahara itu, ada juga dugaan penilapan uang dinas oleh pegawai KPK yang nilainya Rp500 juta.
Apa mau dikata dengan ini semua, ya KPK lembaga yang disegani dan dibentuk dari semangat reformasi sedang sakit parah.
Marwahnya terus melapuk, integritasnya, meredup, kejujurannya telah lenyap.
Mengapa ini semua terjadi? Ada beberapa pandangan di sana.
Pertama, melapuknya KPK karena perubahan UU KPK pada Desember 2019, DPR merevisi UU KPK.
Menempatkannya dalam rumpun kekuasaan eksekutif, pegawainya menjadi ASN, kewenangannya dipreteli, itu satu pandangan.
Pandangan kedua, paling tidak disampaikan anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani.
Dia mengutip meski undang-undangnya buruk tetapi pelakunya baik, maka hasilnya baik.
Arsul condong pada kinerja sosok aktor di KPK.
Kedua pandangan itu bisa saja sama benarnya undang-undangnya bermasalah aktornya pun bermasalah.
Gejala ini sungguh memprihatinkan terbongkarnya pungli di KPK hanyalah contoh kecil bahwa integritas dan kejujuran KPK telah lenyap.
Kredibilitasnya telah runtuh, padahal KPK dibangun karena latar belakang penegak hukum yang kala itu bermasalah.
Sampai ada adagium untuk membersihkan lantai yang kotor harus menggunakan sapu yang bersih. Dulu, KPK adalah satu yang bersih. Kini, KPK pun sama kotornya.
Integritas KPK tercederai, butuh keberanian politik Presiden Jokowi mengembalikan marwah KPK sebagaimana saat lembaga itu didirikan.
KPK lahir melalui perjuangan measyarakat sipil saat KPK diserang kekuatan politik.
Masyarakat sipil datang membela, kini masyarakat menjauh dari KPK karena KPK telah dibajak kekuatan politik.
Video Editor: Galih
Artikel ini bisa dilihat di : [ Ссылка ]
