Perubahan iklim atau yang sering kita dengar dengan climate change sedang marak diperbincangkan oleh akademisi maupun para pembuat kebijakan. Masalah perubahan iklim ini berdampak pada lapisan seluruh masyarakat di dunia. Peningkatan suhu yang melebihi ambang normal kemudian membuat makhluk hidup di seluruh dunia mengalami disorientasi hingga tak jarang hewan-hewan langka pun punah. Mengacu pada UNESCO 2021[1], bahwa perubahan iklim ini sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Banyak kebudayaan yang menggantungkan hidupnya pada alam.
Kisah serupa terjadi pada Masyarakat Lamalera tinggal di Kecamatan Wulandoni, kabupaten Lewoleba, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Desa Lamalera berada di wilayah selatan Pulau Lembata. Masyarakat Lamalera terkenal dengan tradisi menombak paus atau baleo. Namun demikian, kondisi ekologi yang tidak menentu membuat orang Lamalera kesulitan menangkap mamalia paus yang kini jumlahnya sangat terbatas.
Lamalera merupakan salah satu wilayah pesisir Indonesia yang berhadapan langsung dengan laut lepas. Posisi wilayah yang menghadap laut Sawu yang berbatasan dengan laut Hindia, menjadikan Lamalera sebagai jalur jalannya hewan mamalia laut seperti, paus, pari, dan lumba-lumba. Mengacu pada Choesin dan Bella (2017, 2019a, 2019b) orang Lamalera menyebut musim penangkapan ikan dengan sebutan lefa, yang memiliki arti melaut dalam bahasa Indonesia. Sebelum musim lefa dimulai, masyarakat Lamalera melakukan beberapa upacara tradisi misa arwah kepada leluhur untuk mendapatkan restu dan keselamatannya saat melaut. Upacara musim lefa tersebut berlangsung pada tanggal 1-5 Mei yang ditandai dengan munculnya baleo atau semburan ikan paus. Musim lefa biasanya berlangsung antara bulan Mei hingga November, tergantung cuaca dan ombak di lautan. Setelah melakukan misa, mereka meletakkan beledang yang diisi dengan lilin, dinyalakan di atas air laut dan dengan sendirinya terbawa arus ke tengah laut.
Ada empat peranan penting saat lefa belangsung, yakni (1) Lemava yang merupakan juru tikam, Lemava menunggu aba-aba dari briung ala untuk menombak ikan; (2) Lamauri, adalah juru mesin yang bertugas mengoperasikan mesin. Kelihaian ini sangat diperlukan karena harus pandai memutar kapal mengikuti arah ikan yang menjadi target; (3) Briung Ala yang bertugas melihat arah jalannya ikan, ia berdiri di tengah kapal untuk melihat ikan dari kejauhan sebelum ditikam; (4) Para matrus yang memberikan semangat untuk dayung lebih cepat. Keempat-empatnya dipilih berdasarkan keturunan dari orang tua mereka. Keempat peranan penting ini dibentuk saat mereka sedang mencari kotaklema atau temus karena ukuran keduanya sangat besar sehingga membutuhkan cara tersendiri untuk menangkapnya. Istilah kotaklema adalah sebutan yang mereka gunakan untuk menyebut ikan paus, sedangkan Ikan temus adalah ikan lumba- lumba yang ukurannya sedikit lebih kecil dari kotaklema.
Selain lefa, kegiatan orang Lamalera adalah barter, entah barter ke rumah rumah, disinggahi di rumah ataupun Pasar Barter Lamalera (yang dulunya berada di Wulandoni). Dalam hal ini terlihat pembagian peran antara wanita dan laki-laki. Pihak laki-laki yang secara keseluruhan melakukan praktik lefa dengan menombak ikan besar di laut. Di sisi lain, pihak perempuan yang menjualnya di pasar barter dan melakukan negosiasi di sana, walaupun sebenarnya sudah ada takaran baku yang dibuat sejak dulu dalam transaksi barter.
Selain itu, perempuan pedagang/para mama yang bertugas mengolah sumber daya yang sudah diambil, seperti merebus air laut hingga menjadi garam yang nantinya menjadi komoditas barter; dan juga menakar, menjemur ikan-ikan yang ditangkap oleh pihak laki- laki. Di sini hampir seluruh aspek kehidupan dipenuhi dengan barter, dan jarang ditemui transaksi menggunakan uang. Biasanya mereka melakukan transaksi dengan uang ketika berhadapan dengan pedagang dari Lewoleba.
Orang Lamalera sebagai orang pesisir, tidak bisa hidup sendiri, mereka membutuhkan orang pegunungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka berdampingan dengan desa-desa tetangga, yakni Posiwatu, Imulolong, dan Puor—dan sebaliknya. Salah satu ruang pertemuan antara masyarakat Lamalera dengan masyarakat lainnya adalah saat barter. Saat barter mereka menukarkan barang-barang hasil alam yang mereka produksi. Pertemuan mereka lebih sering disebabkan oleh kepentingan pertukaran barang saat barter.
Kegiatan berburu mamalia paus ini tidak dapat dipungkiri berkaitan erat dengan kondisi alam dan juga kondisi sosial budaya. Oleh karenanya, perubahan iklim yang terjadi ini sangat berpengaruh pada jantung kehidupan orang Lamalera. Dimana tidak hanya berkaitan dengan ritual pemburuan saja, melainkan juga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup, mata pencaharian, kebertahanan Tradisi pasar barter, kearifan lokal, bahasa, dan juga pengetahuan tradisional di dalamnya.
[1] [ Ссылка ]
Ещё видео!