Ketentuan Pasal 50 ayat (6) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU Jalan) dinilai sudah menjamin kepastian hukum. Hal ini dikemukakan Nurhasan Ismail selaku ahli Pemerintah dalam sidang lanjutan uji materiil masa konsesi jalan tol seperti yang tercantum dalam Pasal 50 ayat (6) UU Jalan yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (8/5).
“Kesimpulan saya Pasal 50 ayat (6) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 di dalamnya sudah mengandung jaminan adanya kepastian hukum tentang jangka waktu perjanjian antara pemerintah dan swasta dalam pengelolaan tol. Selain itu menjadi jaminan keadilan bagi para pihak. Maka tidak mungkin ketentuan seperti ini dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Nurhasan menjelaskan kepastian hukum dapat diukur dengan kejelasan jangka waktu pengusahaan jalan tol, yakni ketika sudah lunasnya dana investasi dan sudah memperoleh keuntungan yang cukup. Menurutnya, UU a quo tidak bisa menyebut spesifik lamanya tahun kerja sama yang dilakukan pemerintah dan swasta dalam pengelolaan jalan tol karena banyak variabel yang mesti dihitung untuk menentukan besaran tarif tol yang ada.
“Dengan rumusan seperti ini, keadilan bagi kedua pihak, baik masyarakat sebagai pengguna jalan ataupun bagi investor akan terpenuhi. Sebab adanya hitungan konkret pada saat akan dilaksanakan pengusahaan jalan tol,” tegasnya menanggapi Perkara Nomor 15/PUU-XVI/2018 tersebut.
Danang Parikesit selaku ahli Pemerintah lainnya menyatakan perjanjian dengan badan usaha, negara dan Pemerintah dengan swasta memiliki risiko, terutama di dalam memberi perlindungan kepada masyarakat. Sehingga undang-undang yang mengatur pengembangan jalan harus mengenali risiko yang ada dan cukup adaptif dalam mengakomodasi berbagai risiko investasi oleh badan usaha
“Perubahan risiko, faktor, dan tingkat risiko investasi harus mampu diperluas ruang responsif oleh Pemerintah sebagai pihak yang berada di tengah masyarakat dan badan usaha. Bagi saya, penyebutan jangka waktu tertentu di dalam Pasal 50 ayat (6) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan badan usaha, serta sejalan dengan kaidah-kaidah ekonomi publik atau ekonomi ,” tegasnya.
Dalam permohonan Nomor 15/PUU-XVI/2018 tersebut, Moh. Taufik Makarao dan Abdul Rahman Sabar selaku Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya aturan terkait konsesi jalan tol yang tercantum dalam Pasal 50 ayat (6) UU Jalan. Pemohon menjelaskan konsesi, menurut Pasal 1 ayat (20) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang dipahami sebagai pemberian kuasa dari pemerintah kepada selain pemerintah untuk mengelola fasilitas umum. Pemohon menilai frasa “dalam jangka waktu tertentu” pada Pasal 50 ayat (6) UU Jalan ini tidak memiliki ketentuan waktu yang tepat dan jelas, sehingga mampu mengakibatkan kerugian bagi negara dan masyarakat.
Pemohon beranggapan bahwa penilaiannya terhadap pasal tersebut didukung Pasal 39 ayat (6) UU Administrasi Pemerintahan yang berbunyi “Izin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan kerugian negara.” Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 apabila frasa “dalam jangka waktu tertentu” tidak dimaknai “dalam jangka waktu paling lama 20 tahun” untuk memenuhi dana investasi dan keuntungan bagi pengusaha jalan tol. (ARS/LA)
Ещё видео!