KEUTAMAAN seorang pemimpin ialah kemampuan menjaga perilaku dan lisannya. Ia harus mampu karena tanggung jawabnya jauh lebih besar, tindak tanduknya menjadi anutan masyarakat.
Pemimpin itu diminta untuk menjaga mulutnya sebab ucapan menjadi cermin dirinya sendiri. Karena itulah, bijak tidaknya seorang pemimpin bisa diukur pada saat ia berhadapan dengan anak buahnya yang berbuat salah. Ada pemimpin bijak yang mampu mengontrol emosinya. Sebaliknya, ada pula pemimpin yang meluapkan emosinya.
Meluapkan emosi beragam cara. Ada yang marah-marah, tidak sedikit pula yang memaki-maki anak buahnya. Marah tentu tidak akan menuntaskan masalah, malah menimbulkan masalah baru.
Rekaman video Menteri Sosial Tri Rismaharini yang sedang marah-marah beredar luas. Amarahnya memuncak kala rapat bersama pejabat di Gorontalo pada 30 September. Bukan hanya kali ini beredar luas rekaman video Risma marah-marah.
Kemarahan Risma bisa dipahami sebagai kesungguhan dirinya untuk memperbaiki sengkarut penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat miskin. Apalagi, data bansos belum sepenuhnya terkonsolidasi.
Namun, perlu dipertimbangkan secara baik dan benar, apakah seorang menteri perlu memarahi pendamping program keluarga harapan (PKH) di muka umum? Terlalu jauh rentang koordinasinya, jangan-jangan bukan urusan menteri menegurnya.
Eloknya, jika pendamping PKH bermasalah, menteri cukup berkoordinasi dengan gubernur atau kepada dinas sosial. Pendamping PKH bukanlah level seorang menteri untuk memarahinya, memarahi orang di depan umum tidaklah patut karena hanya bertujuan mempermalukan, alih-alih mendidiknya.
Kemarahan Risma memang berbuntut Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo memberhentikan Kepala Dinas Sosial Husai Ui. Diberhentikan karena Husai dinilai tidak menjawab dengan benar saat ditanya oleh Risma terkait data PKH.
Pada pertengahan Juli lalu, Risma juga sempat memarahi anak buahnya di Bandung. Dimarahi karena dianggap tak cakap dalam menangani dapur umum saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat.
Kemarahan Risma di Bandung menyulut kontroversi karena ia mengancam anak buahnya dipindahkan ke Papua. Seakan-akan Papua menjadi tempat pembuangan pegawai bermasalah.
Seorang menteri merupakan pejabat negara yang wajib memberikan teladan dalam menjalankan etika kehidupan berbangsa. Patutnya Risma sebagai menteri sosial membimbing dan memberikan teladan terbaik bagaimana menyelesaikan masalah secara komprehensif, tanpa marah-marah yang malah menambah masalah serta menggerus hormat dan muruah.
Lain kali, jika masih mau marah-marah, marahilah para dirjen atau direktur di kementerian. Tuntutlah mereka untuk mengawasi dan mengoreksi anak buah masing-masing sebab begitulah fungsi struktur birokrasi dibentuk.
Terlepas dari marah-marah, harus jujur diakui bahwa Risma berkemauan sangat kuat untuk membenahi data. Kemensos meluncurkan New Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang sudah dipadankan dengan nomor induk kependudukan yang dikelola Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.
Risma juga berhasil membenahi metode penyaluran bansos yang jauh lebih cepat dan tepat sasaran. Terkait penanganan bencana di Tanah Air, kinerja Kemensos juga patut diacungi jempol.
Kinerja yang baik disertai kemampuan menjaga perilaku dan lisan tentu jauh lebih baik lagi bagi seorang pejabat. Lisan pejabat perlu dijaga karena ada pepatah yang mengatakan karena mulut badan binasa.
Ещё видео!