TRIBUN-VIDEO.COM - Di balik tragedi pemberontakan G30S/PKI memang menyisakan banyak cerita dari berbagai pihak, tak terkecuali Soeharto dan Keluarga Cendana.
Istri Soeharto, Bu Tien Soeharto, menceritakan kesaksiannya saat pemberontakan G30S/PKI itu terjadi
Bu Tien menceritakan bahwa di malam itu anak-anaknya meminta dibuatkan sup kaldu tulang sapi.
Namun, ketika dirinya sedang membawa panci berisi sup panas yang hendak ditaruh di ruang makan, tiba-tiba Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) yang saat itu berusia empat tahun, menabrak tangan ibunya.
Akibatnya, sup itu tumpah dan mencelakai Tommy.
"Air sup tumpah dan mengguyur sekujur tubuhnya. Kulitnya terbakar dan melepuh-lepuh. Saya ingat pelajaran PPPK di Kostrad.
Kalau luka bakar obatnya leverstraan salf. Kebetulan ada persediaan di rumah. Maka obat itulah yang saya oleskan ke kulitnya.
Setelah itu saya bawa Tommy ke RS Gatot Subroto untuk dirawat," tuturnya sambil menambahkan Soeharto sempat menjaga Tomy bersama dirinya.
Di RS Gatot Subroto lah keberadaan Soeharto pada malam G30S/PKI terjadi.
Keberadaan Soeharto di rumah sakit diperkuat dengan pengakuan Letkol Abuel Latief.
Soeharto disebut-sebut mengetahui akan rencana penculikan sejumlah jenderal yang diyakini sebagai Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta pada Presiden Sukarno.
Hal itu berdasarkan kesaksian salah satu pelaku yaitu Kolonel Abdul Latief dalam persidangan.
Dikutip dari buku John Roosa berjudul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Latief bersaksi bahwa ia memberi tahu Soeharto soal rencana penculikan sejumlah jenderal.
Latief mengatakan bahwa ia menghadap Soeharto yang kala itu berada di rumah sakit menunggu Tommy.
Semua dilaporkan oleh Latief perihal adanya rencana pergerakan pasukan Cakrabirawan, namun kala itu kata Latief Soeharto tak bereaksi apapun.
"Sehari sebelum kejadian itu saya melapor langsung kepada Bapak Mayjen Suharto, sewaktu beliau berada di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) sedang menunggui putranya yang ketumpahan sup panas. Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau," kata Latief.
Tak hanya sekali, Latief bahkan sebelumnya pernah membahas soal isu adanya "Dewan Jenderal" di rumah Soeharto.
Latief bercerita lebih lanjut, la menyatakan bahwa ia juga sudah membicarakan masalah Dewan Jenderal dengan Suharto satu hari sebelumnya di kediaman Suharto di Jalan Haji Agus Salim.
Saat itu Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Kostrad.
Pada pertemuan di rumah Soeharto itu Latief melaporkan adanya isu soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta.
Menurut Latief, Soeharto telah mengetahui hal itu dari mantan anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo.
"Tanggapan beliau akan dilakukan penyelidikan," kata Latief.
Tommy yang harus dirawan di rumah sakit seolah menjadi penolong Soeharto lolos dari penculian, namun itu disebut bukanlah fakto satu-satunya.
Pasalnya, PKI diketahui berusaha mendiskreditkan Suharto dengan situasi dimana kediaman para perwira TNI AD yang menjadi korban G30S/PKI berdekatan dengan kediaman Suharto.
Mereka juga menjadikan posisi Pangkostrad yang memiliki kekuatan pasukan tapi mengapa tidak menjadi target operasi penculikan dan pembantaian.
Diketahui, semua perwira TNI AD yang menjadi korban kebrutalan PKI adalah mereka yang menolak proposal yang diajukan PKI mengenai Angkatan ke V.
Memang benar bila tempat tinggal mereka saling berdekatan yaitu didaerah Menteng. Tapi harus diingat bahwa mereka yang menjadi korban adalah para petinggi di Markas Besar AD.
Jenderal AH Nasution merupakan Menko Pangab namun jabatannya hanya jabatan struktural.
Jenderal Ahmad Yani merupakan Menpangad/KASAD yang merupakan pucuk pimpinan tertinggi di TNI AD. Sutoyo, S Parman, Suprapto, DI Panjaitan, MT HARYONO merupakan deputi ataupun Asisten Menpangad yang berkedudukan di Markas Besar TNI AD.
Ke 7 perwira TNI AD yang menjadi target penindakan Letkol Untung adalah petinggi TNI AD yang membuat keputusan dan kebijakan di tubuh TNI AD.
Suharto yang ketika itu menjabat sebagai Pangkostrad bukanlah bagian dari Mabes AD yang dapat memberi keputusan dan Suharto hanyalah bagian dari mereka yang menjalankan keputusan yang diambil Mabes AD.
Posisi Soeharto sama seperti posisi Pangdam Jaya atau DanRPKAD yang merupakan perwira pasukan yang siap menjalankan kebijakan para petinggi di Mabes TNI AD.
Sebagai Pangkostrad, Suharto selalu siap menjalankan setiap perintah yang dikeluarkan Mabes AD.
Itulah yang menjadi alasan kalau Soeharto bukanlah orang penting yang pantas dijadikan target operasi.
Sikap Soeharto yang selalu loyal dan patuh kepada atasan membuat Soeharto tidak termasuk dalam target operasi penculikan.
(*)
Ещё видео!