Kenapa PKI tak dibubarkan pasca pemberontakan di Madiun tahun 1948? Ternyata ini penyebabnya. Seperti diketahui, pada tahun 1948, ketika Indonesia sebagai sebuah republik masih berusia muda, meletus sebuah peristiwa di Madiun Jawa Timur yang kemudian dikenal dengan peristiwa pemberontakan PKI Madiun. PKI yang dimaksud adalah Partai Komunis Indonesia. Ketika itu, pemerintah Indonesia sedang sibuk-sibuknya menghadapi Belanda yang ingin berkuasa lagi di Indonesia.
Pemberontakan di Madiun pun akhirnya bisa dipadamkan pemerintah Indonesia dengan mengerahkan satuan Siliwangi yang tengah hijrah ke Jawa Tengah dan kesatuan TNI lainnya. Namun setelah itu, PKI yang dianggap ada dibalik pemberontakan Madiun tak dibubarkan. Saat itu, tepatnya pada tahun 1949, Belanda melancarkan agresi militer keduanya ke Yogyakarta yang kala itu jadi ibukota Indonesia.
Karena adanya agresi militer Belanda itu, penyelesaian kasus Madiun tidak tuntas. Semua kembali sibuk melawan Belanda. Buku, "Musso: Si Merah di Simpang Republik," yang disusun Tim Buku Tempo, sedikit menjelaskan kenapa PKI yang ketika itu dianggap ada dibalik pemberontakan di Madiun tak dibubarkan.
Menurut buku, "Musso: Si Merah di Simpang Republik," yang disusun Tim Buku Tempo, PKI mendapat kembali dapat napas baru” pada pertengahan 1949. Debat panjang dalam sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) akhirnya memutuskan memberikan hak hidup kepada PKI.
Partai berlambang palu arit itu diminta untuk ikut mempertahankan republik Indonesia yang akan kembali dikuasai Belanda. Menurut Rosihan Anwar wartawan koran Siasat yang meliput sidang-sidang KNIP, kenapa PKI tetap dibiarkan hidup, karena waktu itu semangat yang hadir dalam sidang adalah berjuang bersama-sama
Lalu setelah itu dikeluarkan Surat keputusan pemberian maaf kepada PKI yang ditandatangani Menteri Kehakiman Soesanto Tirtoprodjo. Surat tersebut dikeluarkan pada 7 September 1949. Isi surat tersebut menyatakan pemerintah tidak akan menuntut PKI, tapi mereka tak boleh terlibat tindakan kriminal.
Bagi PKI, surat tersebut seperti sebuah berkah bagi kelangsungan hidup mereka. Maka, setelah dikeluarkannya surat tersebut, para pentolan PKI yang sebelumnya sembunyi karena peristiwa Madiun seperti Alimin, Tan Ling Djie, Wikana, Sudisman, Aidit, Njoto, dan Lukman keluar dari gua-gua persembunyiannya.
Sejak saat itu, eksistensi PKI sebagai sebuah partai terus menguat.
Menurut sejarawan Harry Poeze yang dikutip Tim Buku Tempo dalam buku,"
Musso: Si Merah di Simpang Republik," keberhasilan PKI dalam pemilu 1955 itu tidak terlepas dari kepemimpinan Aidit-Lukman-Njoto. Masih menurut Poeze, sejak eksistensi PKI menguat, Aidit dan kawan-kawan coba membersihkan nama PKI yang ternoda dalam peristiwa Madiun.
Pembersihan nama PKI yang dicap sebagai partai pemberontak dalam peristiwa Madiun pada tahun 1948 misalnya dilakukan lewat koran Bintang Merah. Koran tersebut menulis peringatan dua tahun peristiwa Madiun.
"Media yang diasuh trio Aidit-Lukman-Njoto itu menyebut Musso tidak memberontak atau bercita-cita mendirikan negara Soviet,” kata Poeze seperti dikutip Tim Buku Tempo dalam buku yang disusunnya.
Kemudian pada tahun berikutnya, Bintang Merah juga memuat artikel “Tiga Tahun Provokasi Madiun”, yang ditulis Mirajadi nama samaran Sudisman. Tidak hanya itu, Departemen Agitasi Propaganda PKI juga tak ketinggalan dengan menerbitkan buku putih Peristiwa Madiun pada 1953.
Buku putih Peristiwa Madiun yang diterbitkan Departemen Agitasi Propaganda PKI itu kata pengantarnya ditulis Aidit. Dalam buku tersebut, Aidit menuding Sukarno, Hatta dan Natsir provokatif dan kejam menyikapi Peristiwa Madiun. Gara-gara itu, Aidit diajukan ke meja hijau pada 14 Oktober 1954, dengan tuduhan menghina Wakil Presiden Hatta.
Lalu, menjelang Pemilu 1955, pidato pembelaan Aidit diterbitkan kembali, tapi dirampas penegak hukum. Pemerintah pun kemudian melarang peringatan Peristiwa Madiun. Tapi Aidit tidak kapok. Dalam naskah pidatonya di sidang DPR pada 11 Februari 1957, Aidit kembali membela Musso.
"Alhasil, PKI tak kenal lelah untuk membantah tuduhan kudeta Madiun,” kata Harry Poeze seperti dikutip Tim Buku Tempo dalam buku,"Musso: Si Merah di Simpang Republik."
Harry Poeze sendiri percaya rencana kudeta itu ada dalam peristiwa Madiun. Sampai kemudian pada 1 Oktober 1965 meletus peristiwa berdarah yang diawali dengan penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal pimpinan teras Angkatan Darat. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan sebutan pemberontakan G30S PKI. Kembali PKI dianggap sebagai partai pemberontak. Mencoba kembali melakukan kudeta seperti waktu di Madiun.
Sampai kemudian pada 12 Maret 1966, PKI dibubarkan dan ditetapkan sebagai partai terlarang di seluruh Indonesia oleh Letjen Soeharto dengan bekal Supersemar. Hidup PKI pun tamat. Pun hidup Aidit juga tamat. Ia menyusul Musso ke alam baqa. Pada 23 November 1965, Aidit dieksekusi mati di Boyolali.
Ещё видео!