Sidang lanjutan uji materiil Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (2/10). Agenda perkara Nomor 64/PUU-XV/2017, yakni mendengarkan perbaikan permohonan.
Dalam sidang tersebut, hadir Aan Eko Widiarto dan Haru Permadi selaku kuasa hukum, serta Pemohon prinsipal Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Muhammad Mawardi. Haru menjelaskan Pemohon sudah memperbaiki bagian kedudukan hukum. Pasal yang diujikan fokus hanya menguraikan satu frasa saja terkait pasal yang diuji, yakni Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada.
Di akhir sidang, Mawardi selaku Anggota DPD, memberikan beberapa pandangan terkait alasan permohonan. Salah satu di antaranya ia meminta keadilan di mata konstitusi karena DPD juga merupakan produk rezim pemilu yang langsung dipilih rakyat. “Eksekutif dan legislatif seharusnya memiliki kedudukan sama. Jika eksekutif saat mencalonkan diri di Pilkada tidak mundur, maka hal sama seharusnya juga berlaku untuk DPD,” tegasnya.
Di sisi lain, aturan ini juga seharusnya berlaku bagi anggota DPRD yang semestinya tidak mundur jika mencalonkan diri dalam pilkada. Sebab, lanjut Mawardi, kepala daerah dan DPRD tergabung dalam satu jenis sebagai sebagai rezim pemerintah daerah.
Terakhir, Mawardi menegaskan fenomena ketakutan anggota DPD untuk ikut dalam pilkada karena harus melepaskan jabatannya jika hendak mencalonkan diri. “Ini berbahaya bagi regenerasi kepemimpinan politik. Potensi kepala daerah diisi orang bermodal besar tanpa pengalaman politik menjadi besar. Ujungnya dapat menurunkan kualitas pemimpin daerah,” tegasnya.
Sebelumnya, Pemohon mempersoalkan syarat wajib mundur dari jabatan Anggota DPD dan DPRD jika hendak mengikuti pilkada. Anggota DPD tersebut, yakni Akhmad Muqowam, Muhammad Mawardi, Abdul Rahman Lahabato, M. Syukur, Intsiawati Ayus, dan Ahmad Kanedi.
Pasal tersebut dipandang melanggar prinsip negara hukum demokratis. Selain itu, DPRD serta walikota dan bupati, merupakan satu bagian dari pemerintahan daerah, namun penerapan kebijakan kepada kedua lembaga tersebut malah berbeda. Jika ingin mencalonkan diri dalam pilkada, seorang anggota DPRD mesti mundur, tetapi hal serupa tidak berlaku bagi bupati maupun walikota. Selain itu, pasal yang diujikan dianggap melanggar prinsip persamaan di mata hukum. Norma yang diujikan bersifat diskriminatif dan tidak memberi kesempatan yang sama kepada anggota DPD. (ARS/LA)
Ещё видео!