Mbed-mbedan
Peringatan Sejarah Nama Semate, Juga Ajang Simakrama dan Saling Memaafkan.
Setelah tiga tahun ditiadakan akibat pandemi Covid-19, tradisi Mbed-mbedan kembali digelar oleh krama Desa Adat Semate, Kelurahan Abianbase, Kecamatan Mengwi, Badung di jaba Pura Desa lan Puseh Desa Adat setempat pada rahina Ngembak Gni yang jatuh pada Wraspati Pon Uye, Kamis (23/3). Tradisi tersebut memiliki arti penting berkaitan dengan peringatan sejarah tentang alotnya diskusi dalam pemberian nama Desa Semate.
Secara sekilas, tradisi mbed-mbedan mirip dengan kegiatan tarik tambang. Namun aksi tarik menarik tersebut ternyata bukan untuk hiburan. Namun ada filosofi yang mendasari. Jero Mangku Putih Semate Made Sukarta didampingi Bendesa Adat Semate Gede Suryadi mengungkapkan tradisi mbed-mbedan merupakan tradisi yang termuat dalam Raja Purana Desa Adat Semate.
Menilik dari isi purana yang sudah diterjemahkan tersebut, pada mulanya wilayah Semate merupakan hutan belantara dan angker yang lebih banyak ditumbuhi kayu putih sebelum dihuni oleh manusia. Kemudian pada masa kerajaan Dalem Waturenggong di Gelgel Tahun Saka 1382 atau 1460 Masehi, hutan kayu putih tersebut didatangi oleh Ki Pasek Gelgel (keturunan Mpu Gni Jaya) yang tiada lain adalah orang yang memiliki peranan penting dalam menjalankan roda kepemimpinan Dalem Waturenggong.
Tarik ulurnya pendapat mengenai nama Semate ini kemudian menjadi cikal bakal pelaksanaan tradisi Mbed-mbedan. Sebelum meninggalkan wilayah Semate untuk melanjutkan perjalanan sucinya, Rsi Mpu Bantas berkata atau mengucapkan sebuah bhisama yang pada intinya karena terjadi tarik ulur dalam pengambilan keputusan terkait pemberian nama Putih Semate, maka sebagai tanda peringatan, para penghuni Semate wajib dilaksanakan upacara Mbed-mbedan setiap satu tahun sekali, yakni pada Ngembak Gni atau sehari setelah Nyepi untuk memohon keselamatan dan anugerah dari Tuhan.
Rangkaian mbed-mbedan, kata Jro Sukarta, diawali dengan mohon anugerah pada yang bersthana pertama di Semate, yakni Pura Kahyangan Putih Semate. Kemudian dilanjutkan dengan persembahyangan di Pura Desa lan Puseh Desa Adat Semate.
Adapun sarana yang digunakan adalah tali tambang. Namun sejatinya pada zaman dulu menggunakan tanaman yang tumbuh menjalar di setra Desa Semate yang mana lebih dikenal dengan bun kalot. Akan tetapi, saat ini tanaman bun kalot masih tetap digunakan, namun ukurannya kecil dan sebagai simbolis saja, lantaran tanaman tersebut kini langka.
“Ketika persembahyangan selesai, barulah kita ke jaba pura untuk melaksanakan mbed-mbedan yang dibagi menjadi beberapa kelompok. Pertama, pamangku lanang istri yang membuka, kemudian diikuti krama lanang istri sebagai lambang purusa pradana yang saling tarik ulur, Lalu diikuti yowana, terakhir gabungan,” katanya sembari menyebut sempat ditiadakan waktu covid-19, sehingga hanya matur piuning.
Tarik ulur mbed-mbedan pun berlangsung seru ditambah iringan baleganjur yang menambah semangat. Usai melaksanakan tradisi mbed-mbedan, seluruh krama kembali masuk ke pura untuk makan bersama dan bermaaf-maafan usai Hari Raya Nyepi. “Krama akan bersama di pura dengan makanan berupa tipat bantal simbol purusa pradana. Kemudian ditutup dengan bermaaf-maafan, mumpung kami kumpul sekali. Di sini kita membuka hati untuk melepaskan kesalahan sehingga bisa memulai semangat yang baru,” ucapnya.
Jro Sukarta menyebut, sejatinya tradisi mbed-mbedan ini sempat vakum selama 40 tahun sejak tahun 1970-an. Hal ini lantaran sempat terjadi semacam kekeliruan pemahaman dari tetua mengenai pelaksanaan mbed-mbedan ini. “Jadi Mbed-mbedan ini pernah vakum selama lebih dari 40 tahun tahun 1970 sampai 2003, karena tidak nyambung informasi dari para orangtua kepada generasi selanjutnya.
#ngembak geni
#hari raya nyepi
#desa Semate,
#tradisi mbed-mbedan
#tipat bantal
Ещё видео!