Sebagaimana dijelaskan oleh Merle Calvin Ricklefs, eksistensi pesanggrahan-pesanggrahan yang ada di Yogyakarta (termasuk Pesanggrahan Warungboto) tidak dapat dipisahkan dari pendirian Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebagai akibat dari penandatanganan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang dilakukan oleh Nicolaas Hartingh (wakil Vereenigde Oostindische Compagnie) yang didampingi oleh C. Donkel, J.J. Steenmulder, W. Fockens, dan W. van Ossenberch; Raden Mas Suryadi (wakil Kesultanan Mataram); dan kelompok Raden Mas Sujana, wilayah dari Kesultanan Mataram kemudian dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (wilayah Mataram asli) yang diperintah oleh Raden Mas Sujana atau Pangeran Mangkubumi (di kemudian hari bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah) dan Kesunanan Surakarta Hadiningrat (wilayah di sebelah timur Sungai Opak yang saat ini melintasi daerah Prambanan) yang diperintah oleh Raden Mas Suryadi (di kemudian hari bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana III).
Berdasarkan penelusuran berbagai literatur yang dilakukan oleh Notosuroto, Hamengkubuwana I diketahui mendirikan keraton dengan berbagai sarana dan prasarana untuk mendukung eksistensi kekuasaan kerajaannya.Terkait kebijakan tersebut, Purwadi menguraikan beberapa pembangunan yang dilakukan atas perintah dari Hamengkubuwana I antara lain cepuri (benteng keliling yang berada di dalam keraton) dan baluwarti (benteng keliling yang berada di luar keraton), pesanggrahan, jagang, dan permukiman bagi para abdi memperjelas bahwa beberapa pesanggrahan di Yogyakarta yang dibangun atas perintah dari Hamengkubuwana I, yaitu Pesanggrahan Ambarketawang, Pesanggrahan Krapyak, dan Pesanggrahan Taman Sari. disinyalir alasan dari pembangunan pesanggrahan-pesanggrahan tersebut sebagai salah satu aspek pertahanan karena lokasinya secara tidak langsung akan memberikan pelindungan kepada keraton.
Pembangunan yang dilakukan oleh Hamengkubuwana I itu lantas diteruskan oleh Gusti Raden Mas Sundara (putra kelima Hamengkubuwana I dari permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Hageng atau G.K.R. Kadipaten). Ketika menjadi putra mahkota sampai dengan masa pemerintahannya memerintah kesultanan, dia sudah mulai membangun beberapa pesanggrahan, yaitu Pesanggrahan Pelem Sewu, Pesanggrahan Purworejo, Pesanggrahan Rejakusuma, dan Pesanggrahan Warungboto. Hal inilah yang menyebabkan dirinya disebut oleh Ricklefs sebagai “raja pembangunan besar” dalam tradisi raja jawa.
Dalam Babad Momana dan Serat Rerenggan berbentuk sekar sinom tertulis bahwa angka tahun pembuatan pesanggrahan ini, yaitu 1711 tahun Dal, Kangjeng Gusti awit yasa ing Rejawinangun. Sebagai salah satu lokasi peristirahatan,
Ещё видео!