JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) adalah pemeriksaan yang terkait dengan pengelolaan uang negara yang dilandaskan pada transparansi dan tanggung jawab sehingga tercipta pemerintahan yang baik. Pemberian kewenangan PDTT melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU Pengelolaan Keuangan Negara) ini, memberi ruang kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan investigatif atas adanya indikasi kerugian negara. Hal tersebut dijelaskan Kepala Biro Advokasi Kementerian Keuangan RI Tio Serepina Siahaan selaku wakil pemerintah dalam menyampaikan keterangan terhadap sidang lanjutan pengujian UU BPK dan UU Pengelolaan Keuangan Negara.
Sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Senin (11/11/2019) ini merupakan perkara yang dimohonkan oleh Ibnu Sina Chandranegara (Pemohon I) dan Aulia Kasanova (Pemohon II), yang berprofesi sebagai dosen serta Kexia Goutama (Pemohon III) yang merupakan mahasiswa. Dalam permohonan perkara Nomor 54/PUU-XVII/2019 ini, para Pemohon menyatakan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU Pengelolaan Keuangan Negara bertentangan dengan UUD 1945.
Lebih lanjut Serepina menerangkan bahwa Pemeriksaan BPK tersebut mencakup tiga hal, yakni pemeriksanan keuangan, kinerja, dan tujuan tertentu. Sebagaimana dimaksud dalam kedua UU tersebut, untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara, maka diperlukan pengelolaan yang profesional. Oleh karena itu, sambungnya, penting akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara agar cakupan keuangan negara dan bagian-bagian yang bertanggung jawab dapat diawasi dalam pengelolaan keuangannya. “Pemeriksaan ini pun memiliki standar tertentu dan diatur secara ketat,” ucap Serepina dihadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya.
Dalam sidang sebelumnya, secara keilmuan para Pemohon I dan II memahami kewenangan BPK diatur dalam Pasal 23E Ayat (1) UUD 1945 yakni memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, sedangkan terkait dengan pemeriksaan kinerja sebagaimana disebutkan dalam kewenangan BPK pada UU BPK itu tidak dapat dilakukan penambahan kewenangan. Hal ini juga termuat dalam Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015, Nomor 12/PUU-XII/2014, dan Nomor 97/PUU-XI/2013. Namun, setelah diundangkannya UU Pengelolaan Keuangan Negara tersebut, terdapat penambahan kewenangan BPK berupa pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Sehingga kewenangan tambahan ini adalah inkonstitusional karena tidak sesuai dengan UUD 1945.
Ditambah pula bahwa PDTT kemudian dikukuhkan dengan peraturan perundang-undangan Pasal 5 huruf a dan huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan. Akibatnya, terjadi potensi abuse of power yang dapat saja disalahgunakan BPK. Potensi ini dapat menghambat jalannya proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila hal ini terjadi timbul kerugian para Pemohon dalam menjalankan tugas sebagai akademisi saat harus menjelaskan konstitusionalitas PDTT kepada mahasiswa padahal lembaga negara yang dimaksud sudah mendapatkan Status Wajar Pengecualian (WTP) sebelum dilakukan pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja. Adapun Pemohon III merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak mendapatkan kepastian atas apa yang dipelajari di ruang perkuliahan terkait kewenangan PDTT yang ternyata tidak sejalan dengan ketentuan norma yang berlaku.
Sebelum menutup persidangan, Anwar mengingatkan para pihak bahwa sidang selajutnya akan digelar pada Selasa, 26 November 2019 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan dari Pihak Terkait yakni BPK. (Sri Pujianti/NRA).
Ещё видео!