Kali Ciliwung Tempo Dulu
Salah satu wilayah tertua awal peradaban Jakarta ialah Sungai Ciliwung. Awal peradabannya terjadi di muara sungai tersebut yang bersentuhan langsung dengan Laut Jakarta di utara.
Sejarawan sekaligus penulis buku sejarah Jakarta Jj Rizal mengatakan awal peradaban Jakarta berada di Sungai Ciliwung, sekitar 5.000 tahun yang lalu.
Sungai Ciliwung yang panjangnya mencapai 120 kilometer merupakan satu dari 13 sungai yang melintasi Ibu Kota.
Aliran sungai yang berhulu di Gunung Pangrango, Jawa Barat, ini telah menjadi saksi kehidupan manusia yang tinggal di sepanjang tepiannya untuk menjadikannya sumber kehidupan sejak ribuan tahun silam.
Kali Ciliwung sendiri memiliki sejarah yang cukup panjang dan menyimpan banyak cerita. Dalam sejarahnya, Ciliwung terbentuk lantaran adanya letusan Gunung Gede dan Gunung Salak di Bogor, Jawa Barat, pada ribuan tahun silam
Nama Ciliwung sebenarnya berasal dari penulisan aslinya Ci Liwung. Sungai ini relatif lebar dan bagian hilirnya pada zaman dahulu dapat dilayari perahu kecil yang mengangkut barang dagangan.
Lebar kali Ciliwung dari hulu hingga hilir rata-rata mencapai 50 meter
pada tahun 1500-an, Kerajaan Padjadjaran memanfaatkan Ciliwung sebagai sarana transportasi dari ibu kota kerajaan di Pakuan (Bogor) menuju pelabuhan di pantai utara seperti Banten, Tangerang, dan Sunda Kelapa.
Tahun 1600, kapal dagang berkapasitas 100 ton hilir-mudik di sepanjang sungai. Ketika itu Ciliwung masih dapat dilayari oleh perahu yang cukup besar sampai ke tengah kota di sekitar Jalan Gajah Mada dan Harmoni.
Bahkan pada masa-masa itu, kali Ciliwung kerap dijadikan tempat perayaan tahunan Pek-Cun, yakni perayaan perahu berhias bagi orang Cina di Jakarta.
Sungai Ciliwung merupakan tempat Belanda pertama kali membangun kastilnya di tepi timur muara.
Pada 1689, aliran air Sungai Ciliwung sangat bening dan bisa diminum langsung. Penduduk yang tinggal di bantaran sungai bisa memanfaatkan air tersebut untuk kebutuhan rumah tangga.
Selama ratusan tahun air Ciliwung mengalir bebas, tidak berlumpur, dan tenang. Karena itu banyak kapten kapal asing singgah untuk mengambil air segar yang cukup baik untuk diisikan ke botol dan guci mereka.
Dulu, berkat Sungai Ciliwung yang bersih, kota Batavia pernah mendapat julukan “Ratu dari Timur”. Banyak pendatang asing menyanjung tinggi, bahkan menyamakannya dengan kota-kota ternama di Eropa, seperti Venesia di Italia.
Jean-Baptiste Tavernier, sebagaimana dikutip Van Gorkom, mengatakan Ciliwung memiliki air yang paling baik dan paling bersih di dunia (Persekutuan Aneh, 1988).
Kawasan di sekitar kanal-kanal yang dialiri Sungai Ciliwung pun berkembang menjadi kawasan ekonomi yang dinamis. Di sana sepanjang kanal-kanal yang dibangun VOC berdiri pertokoan, perhotelan, hingga villa mewah yang menjadi tempat tinggal pejabat VOC.
Namun, romantisme aliran Sungai Ciliwung dengan Batavia tidak berlangsung lama. dalam buku Membenahi Tata Air Jabotabek oleh AR Soehoed, seabad berselang Sungai Ciliwung lama-kelamaan tak sanggup lagi memikul beban hidrolis yang membebaninya.
Beban hidrolis tersebut didominasi oleh buangan limbah ekologis yang merupakan hasil dari aktivitas industri pengolahan tebu di daerah aliran Sungai Ciliwung. Pencemaran air yang mengalir di kanal-kanal kota pun membuat Batavia kekurangan air bersih, terutama pada musim kemarau.
Kemungkinan bencana ekologi di Jakarta mulai terjadi sejak 1699 . Maka kemudian orang tidak lagi menjuluki Batavia sebagai “Ratu dari Timur”, melainkan “Kuburan dari Timur”.
Walau banyak orang menduga, bencana ekologi itu disebabkan oleh kepadatan penduduk. Batavia memang semula dirancang sebagai kota dagang. Karenanya banyak pendatang kemudian menetap secara permanen di sini. Sejak itulah perlahan-lahan Ciliwung mulai tercemar.
Sejak membludaknya arus urbanisasi itu, pendangkalan Ciliwung dan sungai-sungai kecil lainnya terus terjadi
Semakin derasnya arus urbanisasi ke Jakarta, kondisi Ciliwung semakin amburadul. Banyaknya permukiman kumuh di Jakarta menyebabkan Ciliwung beralih fungsi menjadi “tempat pembuangan sampah dan tinja terpanjang di dunia”.
Mudah-mudahan julukan Ciliwung sebagai sungai terkotor di dunia tidak bertahan lama. Ciliwung dapat kembali bersih seperti yang diutarakan pelaut-pelaut Eropa pada abad belasan. Bukankah sungai yang bersih seperti di Eropa akan mampu menjaring banyak wisatawan? Bahkan bisa dijadikan jalur transportasi untuk mengatasi kemacetan di Jakarta?
Terima Kasih
#ciliwung #hindiabelanda #jakachannel #jalankemanaaja
Ещё видео!