Dipimpin kapal induk Shandong, kapal perang China bertolak ke Lcs hadapi amerika
BEIJING. Sekelompok kapal perang China yang dipimpin kapal induk Shandong dilaporkan telah bergerak menuju Laut China Selatan melewati Taiwan pada hari Senin (21/12).
Angkatan Laut China melaporkan bahwa perjalanan menuju Laut China Selatan merupakan bagian dari agenda latihan militer rutin mereka.
Kapal induk Shandong merupakan kapal induk kedua China, dan secara resmi ditugaskan hampir setahun yang lalu. Sejak saat itu, Shandong telah berhasil menyelesaikan tugas-tugas seperti lepas landas dan pendaratan pesawat berbasis kapal induk serta penggunaan senjata.
Latihan kali ini disebut untuk memaksimalkan koordinasi dalam formasi tempur di lapangan. Selama beberapa tahun terakhir China semakin rutin melakukan latihan di sektor ini demi mengejar ketertinggalan dari AS.
Tim kapal perang ini berlayar melintasi Selat Taiwan sehari setelah kapal perang AS transit di rute yang sama. Militer China mengatakan bahwa pihaknya mencoba membuntuti kapal AS tersebut.
Reuters melaporkan bahwa kapal Shandong serta kapal lainnya telah melewati Selat Taiwan dengan lancar pada hari Minggu (20/12). Pihak Taiwan sendiri sempat was-was mengingat wilayah selat tersebut memang cukup sensitif bagi kedua negara.
"Latihan militer ini merupakan bagian dari aturan normal yang dibuat berdasarkan rancana tahunan. Ke depannya, kami akan meneruskan untuk mengadakan operasi serupa berdasarkan kebutuhan pelatihan," ungkap Angkatan Militer China, seperti dikuti Reuters.
Menanggapi pergerakan China, Kementerian Pertahanan Taiwan melaporkan bahwa kapal induk Shandong berangkat ditemani oleh empat kapal perang dari pelabuhan Dalian di China Utara pada hari Kamis (17/12).
Taiwan kemudian mengirimkan enam kapal perang dan delapan pesawat milik angkatan udaranya untuk berjaga dan memantau sekelompok kapal perang China tersebut.
Organisasi penelitian China memperingatkan, ketegangan di Laut China Selatan dapat meningkat menjadi perang habis-habisan menjelang pelantikan Joe Biden sebagai Presiden AS.
"Kami masih percaya bahwa risiko konflik meningkat. Meskipun kurang disebutkan dalam laporan media akhir-akhir ini, selalu ada beberapa pertemuan dalam berbagai jenis dari kedua sisi setiap hari," jelas Hu Bo, Direktur Pusat Penelitian Strategi Maritim China kepada Express.co.uk.
Dia juga menambahkan, jika AS dan China tidak dapat menemukan langkah-langkah manajemen krisis yang substantif, risiko kecelakaan atau konflik tak terduga akan tetap tinggi.
Hu Bo sebelumnya menyuarakan keprihatinan atas potensi konflik antara Washington dan Beijing. “Meskipun AS telah mencoba untuk memisahkan diri dari China di daerah lain, mereka masih berhubungan erat. Kemungkinan terjadinya konflik skala besar cukup kecil. Tapi konflik skala menengah atau kecil mungkin terjadi, seperti dua kapal perang yang saling bertabrakan atau sesekali baku tembak karena kapal perang dan pesawat kedua negara saling berhadapan," paparnya.
Express.co.uk memberitakan, Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu, meminta negara lain untuk bekerja sama melawan dominasi China.
Jika salah satu titik paling kritis dari rantai pulau pertama tidak berada di tangan negara-negara yang berpikiran sama, kita dapat membayangkan apa yang akan tercipta dalam gambaran strategis global. Kita pasti perlu memikirkan bagaimana kita mencegahnya terjadi," ujarnya.
Dia menambahkan, "Negara-negara yang berpikiran sama perlu bersatu, dan kita akan menjadi kuat bersama.”
Menteri Taiwan tersebut mengatakan kepada negara sekutu termasuk AS, Jepang, Australia dan kekuatan Eropa bahwa jika Taiwan menjadi mangsa China, itu akan meningkatkan jangkauan Beijing ke kawasan Pasifik.
Ketegangan antara China dan AS telah meningkat secara mengkhawatirkan selama beberapa bulan terakhir karena kedua negara meningkatkan kehadiran militer mereka di perairan yang disengketakan.
China telah membangun pangkalan militer di beberapa wilayah tersebut.
Angkatan Laut AS mengeluarkan laporan yang memperingatkan China dan Rusia adalah "dua ancaman paling signifikan bagi era perdamaian dan kemakmuran global".
Laporan itu, Advantage at Sea, mengatakan bahwa Beijing, bukan Moskow, yang menimbulkan risiko terbesar.
Ещё видео!