Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua perkara pengujian Undang-Undang MK yang diajukan Sri Royani, Selasa (2/8) di Ruang Sidang Pleno MK. Sri Royani sebelumnya menguji materiil ketentuan dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 30 huruf a, Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (3) huruf b, Pasal 51A ayat (1), Pasal 51A ayat (2) huruf b, Pasal 56 ayat (3), Pasal 57 ayat (1), dan Pasal 59 UU MK. Keseluruhan pasal-pasal tersebut mengatur mengenai kewenangan MK untuk mengadili perkara pengujian undang-undang.
Setelah mendengar saran Majelis Hakim pada persidangan sebelumnya,Pemohon memperbaiki permohonannya yang teregistrasi dengan No. 52/PUU-XIV/2016 itu. Masih tanpa didampingi kuasa hukum, ia menjelaskan pokok-pokok perbaikan permohonannya, di antaranya dengan mempertajam permohonannya.
“Intinya sudah saya perbaiki permohonan pada halaman 1 tidak ada perubahan. Pada halaman 1, mengenai kewenangan constitutional complaint sebagaimana kita tahu bahwa di banyak negara sudah mempunyai kewenangan itu. Di halaman 2 juga saya sudah sebutkan contoh-contoh negara-negara yang memiliki pengaduan konstitusi dan itu MK Republik Indonesia belum mempunyai wewenang itu. Sementara banyak perkara-pekara yang masuk ke MK Republik Indonesia dan MK Republik Indonesia dengan menyatakan tidak bisa menerima pengaduan itu,” jelasnya sembari memberikan contoh konkret perkara constitutional complaint yang tidak dapat diterima oleh MK selama ini.
Selain itu, Pemohon juga mempertajam argumentasi permohonan. Menurutnya, constitutional complaint diperlukan karena tidak ada upaya hukum lain untuk menyelesaikan kasus yang membelitnya.
Usai mendengar penjelasan Pemohon, Wakil Ketua MK Anwar Usman yang memimpin persidangan mengesahkan 14 bukti tertulis yang diajukan oleh Pemohon. “Ya, baik. Sudah diverifikasi dan dinyatakan sah,” tegas Anwar sembari menyampaikan agar Pemohon menunggu pemberitahuan dari Kepaniteraan MK terkait tindak lanjut perkara ini.
Dalam permohonannya, Pemohon meminta MK untuk juga memeriksa dan mengadili perkara constitutional complaint. Hal tersebut dilatarbelakangi kasus konkret akibat kelalaian penegak hukum dalam menangani kasus penipuan dan pengelapan yang menimpa Pemohon. Pemohon menguraikan bahwa dalam menangani kasusnya pihak kepolisian telah salah menerapkan norma undang-undang yang pada akhirnya merugikan hak konstitusional Pemohon.
Pemohon menjelaskan bahwa ia pernah melaporkan kasus penipuan ke Polda Jabar pada 2011 yang sampai saat ini belum selesai. Ia menduga kasus yang dilaporkannya belum juga usai disebabkan pihak kepolisian salah menerapkan norma undang-undang.
Sebagai salah satu upaya lanjutan dari kasus yang dilaporkannya, Pemohon berharap MK dapat memiliki kewenangan constitutional complaint seperti negara-negara lain. Pemohon yakin dengan adanya kewenangan constitutional complaint, MK dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap hak-hak dasar warga negara.
(Yusti Nurul Agustin/lul)
Ещё видео!