JAKARTA, KOMPAS.TV - Penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi, menuai pro dan kontra.
Lantaran, terdapat frasa "tanpa persetujuan korban" yang jadi perdebatan, karena dinilai tak sesuai dengan norma dan nilai budaya.
Lantas, siapa dan apa alasan perseteruan ini?
Salah satu penolakan datang dari PP Muhammadiyah.
Dikutip dari laman resminya, Sekretaris Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Muhammad Sayuti menyebutkan bahwa konteks relasi seksual yang tidak Islami atau di luar pernikahan, apa pun bentuknya, tidak kemudian begitu ada persetujuan korban menjadi benar.
Tak berhenti sampai di sana, MUI menilai frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbud Ristek tentang PPKS bertentangan dengan nilai syariat agama.
Ketua Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni'am Sholeh meminta pemerintah untuk mencabut, atau setidaknya mengevaluasi serta merevisi peraturan terkait, yakni dengan memasukkan materi dengan muatan yang sejalan dengan syariat, Pancasila, UUD 1945, serta nilai-nilai bangsa.
Menjawab tudingan ini, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim menyebutkan bahwa ia sama sekali tidak mendukung seks bebas atau perzinahan.
Ia menyatakan, definisi kekerasan seksual di aturan ini memang diartikan sebagai tindakan yang dilakukan secara paksa atau tanpa persetujuan (korban); namun bukan mendorong adanya seks bebas di perguruan tinggi.
Nadiem menegaskan, tujuan utama aturan ini adalah sebagai upaya pencegahan, bukan perizinan.
Bersama dengan Nadiem, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mendukung dan juga ikut menekankan bahwa konteks yang dipakai dalam peraturan ini dilandasi asas perlindungan, yakni untuk menghindari pelecehan dan kekerasan seksual.
Ещё видео!