Tegang dan Mencekam Kesaksian Pembantu Jenderal Nasution Saat Majikannya Mau Diculik
Ini sekelumit cerita tentang peristiwa penculikan Jenderal Nasution versi kesaksian pembantunya. Jenderal Nasution yang dimaksud adalah Jenderal Abdul Haris Nasution. Saat hendak diculik pasukan Cakrabirawa pada dini hari 1 Oktober 1965, Jenderal Nasution sedang menjabat sebagai Menko Hankam merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
Dalam peristiwa penculikan itu, Ade Irma Suryani, putri bungsu Jenderal Abdul Haris Nasution jadi korban. Ia tertembak peluru yang dimuntahkan prajurit Cakrabirawa yang hendak menculik ayahnya. Sempat dirawat di rumah sakit, Ade Irma kemudian meninggal dunia.
Tak hanya Ade Irma yang jadi korban. Salah satu Ajudan Jenderal Nasution, yakni Lettu Pierre Tendean juga jadi korban. Dia di bawa paksa komplotan penculik, karena disangka Nasution. Di Lubang Buaya, Pierre Tendean pun akhirnya dihabisi juga.
Sementara pembantu Jenderal Nasution yang menyaksikan langsung peristiwa penculikan majikannya itu bernama Alpiah. Alpiah adalah wanita kelahiran 25 Desember 1936. Dia lahir di Desa Hesang, Kecamatan Tamako, Kabupaten Sangihe.
Dalam wawancara dengan harian Suara Pembaruan pada Senin, 30 September 1991, Alpiah menuturkan kesaksiannya. Kesaksian Alpiah ini yang kemudian dikutip Abie Besman, Iffani Saktya, Irma Rachmania Dewi, Laricya Umboh, Neysa Ramadhani, Noviriny Drivina dan Ziey Sullastri, dalam buku,"Sang Patriot Kisah Seorang Pahlawan Revolusi, Biografi Resmi Pierre Tendean."
Dalam buku tersebut, dituliskan, Alpiah adalah seorang yang pernah dekat dengan almarhumah Ade Irma Suryani Nasution. Walaupun setelah peristiwa penculikan dan Ade Irma meninggal, Alpiah sudah berpisah jauh, tapi dia tak pernah sedikit pun melupakan peristiwa kelam tersebut. Hubungan batin antara dia dan almarhumah Ade sudah begitu kuat. Air matanya kerap menetes saat membicarakan peristiwa kelam malam itu.
Alpiah bercerita, bahwa peristiwa yang terjadi di rumah majikannya di jalan Teuku Umar tersebut berlangsung begitu singkat. Alpiah juga mengungkapkan bahwa dia tidak ada firasat bahwa anak yang diasuhnya, Ade Irma, akan meninggalkannya untuk selamanya.
Dalam buku tersebut diceritakan, seminggu sebelum peristiwa penculikan, Alpiah dirundung rasa sedih, baik siang maupun malam. Melihat keadaan sang pengasuh anak bungsu keluarga Nasution itu sedih, timbul tanda tanya bagi Sunarti, istri Jenderal Nasution.
"Kenapa menangis, Alpiah? Apa karena rindu orang tua di Sangir dan saudara-saudara?" Tanya istri Nasution.
Lalu Alpiah menjawab, "Tidak ada apa-apa. Memang saya sedih, tapi apa sebabnya pun saya tidak tahu.”
Diceritakan oleh Alpiah, biasanya mereka tidur bertiga, dengan Yanti, anak Nasution yang satunya lagi dan Ade Irma. "Tapi pada malam kejadian itu saya tidur dengan
Yanti di kamar tamu yang berhadapan dengan kamar Pak Nas dan Bu Nas. Saya dan Yanti tidur lebih dulu, Ade tidur dengan Bapak dan Ibu. Pukul 21.00 Bapak baru pulang dari acara pelepasan haji di daerah Kebayoran," tutur Alpiah.
Menurut Alpiah, sekitar pukul 03.00 terdengar suara tembakan, dan tembakan itu mengarah langsung ke pintu. Kemudian dia juga mendengar pintu depan digedor-gedor dan berusaha dibuka dengan paksa.
"Lalu saya mengintip dari pintu dan melihat tiga orang tentara. Setelah melihat situasi tersebut, perlahan dan dengan tenang saya mengunci pintu itu lagi. Bersamaan dengan pintu dikunci, mereka menembak ke arah pintu tersebut,” kata Alpiah.
Masih menurut Alpiah, mendengar bunyi senjata, seisi rumah langsung terjaga, kemudian salah seorang anggota keluarga yang tinggal di dalam rumah yakni Mardiah atau tante dari Ade dan Yanti, terlihat panik, dan langsung menggendong Ade. Mardiah adalah adik bungsu Jenderal Nasution.
"Akibat kepanikan ini, Mardiah salah membuka pintu, yang langsung disambut rentetan tembakan," kenang Alpiah.
"Persisnya Mardiah terkena di tangan kiri, sementara Ade kena belakang atau punggung. Kalau Mardiah lewat pintu lain mungkin selamat, tapi ia membuka pintu yang di situ ada tentaranya (Tjakrabirawa),” kata Alpiah.
Rentetan bunyi senjata itu awalnya dikira pajangan yang berjatuhan dari buffet karena pajangan di rumah Jalan Teuku Umar banyak sekali. Mendengar keributan itu, Alpiah langsung membangunkan Yanti dan bermaksud ingin bersembunyi di bawah kolong tempat tidur, tetapi niat itu diurungkan.
"Lalu kami ambil inisiatif loncat dari kamar tamu langsung ke sebelah, karena di situ ada paviliun, tempat ajudan dan sopir. Kebetulan ajudan jaga bukan almarhum Pierre Tendean, tapi Hamdan Mansyur. Namun, Pierre sendiri memang tinggal di paviliun tersebut," kata Alpiah.
Alpiah dan Yanti kemudian berniat untuk menelepon saudara Jenderal Nasution di Kebayoran, tapi ternyata teleponnya putus. Tak menyerah, mereka mencoba menelepon lagi ke Worang, kepala staf pribadi, lagi-lagi telepon juga diputus. Setelah sana-sini tidak tersambung, mereka bertanya kepada Pierre Tendean, "Ada apa?”
Ещё видео!