Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (19/10). Perkara teregistrasi Nomor 95/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia.
Diwakili Arrisman selaku kuasa hukum, Pemohon merasa dirugikan dengan sejumlah ketentuan dalam UU Advokat, yang menyatakan:
Pasal 2 ayat (1), “Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat.”
Pasal 3 ayat (1) huruf f, “Lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat.”
Menurut Pemohon, kedua norma tersebut telah menghambat warga negara untuk mendapatkan standar dan jaminan atas kualitas pendidikan yang dapat diakui dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
“Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 mengabaikan hak warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan amanah Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,” tambah Arrisman.
Pemohon menilai seharusnya penyelenggaraan pendidikan advokat adalah hak perguruan tinggi ilmu hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Adapun organisasi advokat sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Advokat adalah sebagai organisasi profesi, bukan sebagai organisasi pendidikan. Sehingga, segala bentuk penyelenggaraan kegiatan pendidikan yang dilakukan organisasi advokat adalah menyimpang.
Menanggapi dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Aswanto menyoroti posita Pemohon. Menurutnya, kerugian konstitusional Pemohon belum terlihat dalam posita tersebut. “Ini kalau saya sudah bolak-balik tadi membaca posita Pemohon, saya belum bisa menarik kesimpulan dimana kerugiannya. Bahkan ada kesan ini Saudara mencampur-adukkan antara norma yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan norma yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi,” ujar Aswanto.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menasehati Pemohon agar lebih menjelaskan argumentasi yuridis formal atau argumentasi konstitusi bahwa pasal-pasal yang diujikan menghambat warga negara diakui menjadi advokat. “Pasal berapa, undang-undang nomor berapa yang mengatakan bahwa perguruan tinggilah yang berhak untuk melakukan pendidikan termasuk profesi advokat. Sedangkan yang lain tidak berwenang,” imbuh Patrialis.
Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Sidang selanjutnya akan digelar dengan agenda perbaikan permohonan.
(Nano Tresna Arfana/lul)
Ещё видео!