Kyai Utsman RA, ayah Kyai Asrori RA wafat pada bulan Januari 1984 dalam usia 77 tahun. Enam tahun sebelum meninggal, tepatnya pada hari Senin Pon 17 Ramadlan 1398 H / 21 Agustus 1978 M, Yai Utsman telah mengangkat Yai Rori sebagai mursyid tarekat yang dipersiapkan untuk menggantikan Beliau.[6]
Ada cerita menarik terkait dengan peristiwa di-angkatnya Yai Rori oleh Yai Sepuh untuk menjadi mursyid ini. Dikisahkan bahwa sejak tahun 1975, Yai Rori sebenarnya telah dibujuk oleh Yai Utsman agar bersedia dibaiat dan selanjutnya mau meneruskan tampuk kemursyidan tarekat sang ayah. Tapi Yai Rori selalu berusaha menghindar dan mencari-cari alasan untuk mengemban amanat yang sangat berat ini. Salah satu alasan yang sempat di-ungkapkan adalah: masih ada beberapa kakak Yai Rori yang lebih tua dari Beliau, tapi kenapa justru Beliau yang lebih muda yang ditunjuk?.
Namun pada akhirnya, tepat pada tanggal yang telah disebutkan di atas, di rumah almarhum H. Jamil –ayah dari H. Mas’ud yang berlokasi di desa Kroman Gresik– barulah Yai Rori bersedia untuk dibaiat sebagai mursyid. Saking senangnya dengan hal ini, Yai Utsman langsung mengajak sang putra yang telah lama digadang-gadang agar mau menerima amanat dari para guru ini untuk berziarah ke makam Kyai Romli Tamim di Peterongan-Jombang yang pada waktu itu juga bertepatan dengan haul Beliau. Peristiwa bersejarah ini, oleh Yai Rori kemudian di-abadikan dengan ‘menduplikasikannya’ ke dalam suatu rangkaian majlis dzikir untuk para jamaah Beliau pada setiap tanggal 17 Ramadlan. Yaitu, setelah Ashar di-adakan majlis dzikir di sekitar Kroman, dan kemudian dilanjutkan dengan berziarah bersama-sama serta mengikuti majlis haul ke makan Kyai Romli Tamim di Jombang. Dan aktivitas ‘napak tilas’ ini sampai sekarang masih dilaksanakn secara rutin oleh jamaah Al Khidmah.
Dari sang ayah inilah, Yai Rori untuk pertama kalinya menerima pelajaran dan pendidikan sufistik serta tarekat. Dalam gurauannya, Yai Rori sering menyebutkan bahwa Yai Utsman adalah ayah, guru, teman, dan sekaligus musuh. Menjadi ayah saat dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi guru saat belajar. Menjadi teman saat bersama-sama di perjalanan. Dan menjadi musuh saat berdebat membahas ilmu.
Yai Utsman banyak memberikan dasar dan pengaruh dalam kehidupan sufistik Yai Rori. Hal ini dikarenakan Yai Utsman sangat terkenal dengan akhlak Beliau yang mulia. Bahkan, dalam bacaan amaliah khushushi disebutkan bahwa Yai Utsman ini bukan saja sebagai mursyid tarekat, tapi sekaligus juga mursyid akhlak.[7]
Di antara tarbiyah Yai Utsman kepada putranya Yai Rori adalah;
Pertama; Penanaman sikap rahmatan lil’aalamiin.
Yai Utsman pernah berpesan kepada Yai Rori:
“Hadapilah orang awam dengan sikap belas kasih sayang, tidak sekedar dengan ilmu”.
Kedua; penanaman sikap tawadlu’.
Yai Utsman berpesan kepada Yai Rori agar selalu membawa kitab, atau setidaknya membawa catatan ketika memberikan mau’idhah, hal ini dilakukan agar terhindar dari sikap sombong dengan ilmu dan kemampuan yang dimiliki. Karenanya, semasa sugengnya dulu, Yai Rori juga sering terlihat membawa/mengantongi, memegang, dan bahkan membuka kitab Iklil ketika memimpin istighatsah ataupun doa tahlil, meski tak selalu dilihat/dibaca.
Ketiga; tuntunan dan bimbingan rabithah, riyadlah, dan mujahadah.
Melalui ketiga cara ini, Yai Utsman mencoba untuk mengingatkan bahwa apapun yang diperoleh oleh Yai Rori tidak akan pernah bisa terlepas dari berkah para pendahulu/guru yang disertai dengan kesungguhan usaha dan ikhtiar lahir-batin.
Yai Rori juga bukan tipikal orang yang hanya bisa berdakwah dengan ucapan maupun tulisan saja. Justru tak sedikit pula yang meyakini bahwa antara dakwah Beliau yang berupa dedawuhan dan tulisan –yang tersebar dalam banyak VCD, MP3, serta kitab-kitab karya Beliau– dengan dakwah Beliau yang berupa teladan/contoh perbuatan secara langsung, jika dihitung, jumlahnya akan lebih banyak yang terakhir disebut ini. Sebab, bahasa perbuatan lebih fasih daripada bahasa ucapan. Dan Beliau tentu mengetahui hal ini serta telah mempraktikkannya.
Ещё видео!