Di Bali ada satu bangunan khas yang sudah langka, yakni bangunan tradisonal yang disebut balai pegat alias balai putus. Mengapa diberi nama seperti itu? Apakah ada riwayatnya? Tentu saja.
Kisahnya bermula ketika Sri Airlangga pergi berburu ke tengah hutan bersama para menterinya. Acara berburu itu berlangsung selama tiga hari. Pada suatu hari ada seorang perempuan cantik yang lewat. Saking cantiknya, wanita yang berambut gimbal itu membuat Sri Airlangga terpukau dan jatuh hati. Singkat cerita, pada malam harinya Sri Airlangga tidur dengan perempuan itu dan melakukan hubungan suami-istri.
Lama kelamaan, perempuan yang ditinggal begitu saja di dalam hutan, akhirnya hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki yang sangat tampan. Anak yang wajahnya dikatakan menyerupai Sri Airlangga itu kemudian diberi nama Rare Barak.
Berita tentang kelahiran Rare Barak segera tersiar dari hutan sampai ke istana. Sri Airlangga yang mengetahui hal itu kemudian memboyong anak itu berikut ibunya ke istana, dan diupacarai sebagai mana mestinya sesuai dengan adat dan agama.
Semakin dewasa Rare Barak tampak semakin gagah. Hal itu membuat hati Sri Airlangga senang dan memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Sira Arya Buru. Nama itu dibuat untuk mengenang pertemuan baginda dengan ibu anak itu ketika sedang berburu.
Pada suatu hari Sri Airlangga menganugerahi Sira Arya Buru dengan pangkat Adipati dengan dua ratus orang laskar dan diberi gelar Arya Timbul. Setelah kawin dengan putri seorang arya, maka lahirlah di Daha seorang putri bernama Gunaraksa.
Sekarang mari kita beralih ke Bali di mana diceritakan Mpu Ragarunting memiliki dua orang putra, masing-masing bernama Pasek Tutuan dan Pasek Salahin. Keduanya sedang beranjak dewasa dan tinggal di Gelgel ketika Arya Buru bersama anak dan istrinya pindah ke Bali dan tinggal di Bukit Buluh atas perintah Raja.
Setelah beberapa lama tinggal di Bali, putri Arya Timbul yang bernama Gunaraksa diambil istri oleh Pasek Tutuan. Sebelum perkawinan berlangsung dibuatlah perjanjian antara Arya Timbul dan calon menantunya, Pasek Tutuan.
“Hai Ananda Pasek Tutuan,” begitu kata Arya Timbul. “Karena aku hanya memiliki seorang anak yang akan kau ambil sebagai istri, maka kuserahkan diri ini kepadamu. Baik burukku ini akan menjadi tanggunganmu sampai di kemudian hari. Segala harta benda dan pengikutku akan kuserahkan sepenuhnya kepadamu.”
“Tapi ada satu hal yang ingin kutanyakan. Apabila kelak aku meninggal, apakah kau mau menyembahku? Jika mau, maka kuijinkan kau mengawini anakku. Jika tidak, kau tidak bisa memperistri anakku.”Demikian kata Arya Timbul.
Gunaraksa juga ikut bicara. “Ya, itu benar kanda Pasek Tutuan. Bisakah kanda memenuhi permintaan ayahku? Jika tidak, saya tidak aka kawin denganmu.”
Pasek Tutuan terdiam dan berpikir. Apabila ia menuruti permintaan calon mertuanya, berarti ia akan melanggar tradisi. Jika tidak, ia tidak bisa mengawini Gunaraksa. Maka ia menjawab, “Saya berjanji akan menuruti permintaan ayahanda.” Setelah terjadi kesepakatan, maka perkawinan antara Pasek Tutuan dan Gunaraksa dilangsungkan dengan upacara sebagaimana mestinya.
Ещё видео!