MetroTV, PUBLIK di Tanah Air hingga kini masih sangat berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap gahar mencegah korupsi sejak dini. Publik tidak mau KPK berubah jadi macan ompong yang tidak lagi ditakuti karena terlihat garang, tapi tidak mampu menggigit.
Rakyat tidak mau KPK terlihat kuat dan galak, tapi sebenarnya tidak bertenaga dan jinak. Itu seperti yang tampak dalam sikap KPK mengatasi keengganan para penyelenggara negara menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Hingga awal Desember 2024, masih ada 52 dari 124 pejabat, mulai dari kepala lembaga, wakil menteri, wakil badan, utusan, penasihat, hingga staf khusus presiden di Kabinet Merah Putih, yang belum melaporkan harta mereka.
Hingga akhir 2024, KPK mencatat tingkat kepatuhan melaporkan harta, baik dari lembaga eksekutif alias pemerintah, BUMN, lembaga legislatif, maupun yudikatif. Mereka yang enggan untuk terbuka itu, suka atau tidak suka, adalah bagian dari para elite. Mereka adalah kelompok masyarakat yang terpilih untuk menjadi pemimpin bangsa. Ada kesan mereka menyepelekan dan melalaikan ketentuan untuk melaporkan harta. Padahal, sudah sejak 1999, Indonesia mewajibkan penyelenggara negara untuk membuka harta.
Dengan demikian, sudah lebih dari seperempat abad sebenarnya ada aturan yang mewajibkan penyelenggara negara untuk melaporkan dan mengumumkan harta. Selain itu, harus bersedia pula kekayaan mereka diperiksa, baik sebelum, selama, maupun setelah menjabat.
Kenyataannya, justru sebagian kelompok terpilih itu yang mengingkari ketentuan tersebut. Ada juga yang memilih mengakali laporan hanya demi menggugurkan kewajiban supaya dianggap telah menyerahkan laporan harta. Lantaran itu, masih ada yang berusaha mengakui mobil mereka, yang mestinya senilai lebih dari Rp400 juta, dibuat seharga Rp6 juta atau setara sepeda motor bekas.
Bahkan, pada 2021, diperkirakan 95% LHKPN yang diserahkan para pejabat tidak akurat. Mayoritas pejabat negara masih berupaya menyembunyikan harta kekayaan. Entah itu harta berupa tanah, bangunan, rekening bank, atau investasi lain, enggan untuk dilaporkan secara terbuka.
Yang jadi persoalan, tangan, kaki, mulut, dan seluruh indra KPK juga terikat. KPK seakan memang tercipta untuk menjadi macan ompong, karena aturan kewajiban menyerahkan LHKPN tanpa diikuti ketentuan soal sanksi pidana. Pun, tidak ada ketentuan yang bisa menjerat mereka yang sekadar mengugurkan kewajiban melaporkan LHKPN tapi menyembunyikan kekayaan.
KPK boleh saja membuat sistem yang mempermudah para pejabat untuk melaporkan harta. Akan tetapi, upaya itu tidak akan maksimal sepanjang tidak ada niat baik dari para penyelenggara negara untuk siap menjadi teladan sebagai penyelenggara negara yang bersih dan terbuka. Apalagi kalau kewajiban itu disetarakan dengan kesukarelaan tanpa ada sanksi.
Namun, menantikan perubahan secara aturan mungkin akan sia-sia juga. Pemikiran tentang sanksi yang lebih tegas bagi mereka yang melalaikan keharusan melaporkan harta pun tidak akan terlalu dinantikan untuk terwujud.
Pasalnya, publik sudah melihat sendiri niat setengah hati para anggota DPR untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset. Jadi, pilihan ada di KPK. Bisa saja bertahan menjadi macan ompong, atau menjadi macan sesungguhnya dengan membuka data siapa saja penyelenggara negara yang tidak kunjung melaporkan LHKPN di saat usia pemerintahan ini sudah hampir 100 hari.
Ungkap juga mereka yang berusaha mengakali laporan harta secara tidak masuk akal. Yakinlah, publik pasti mendukung, dan jalan menuju pemerintah bersih bisa kian lempeng. Dengan begitu, pencegahan korupsi bisa menemukan tempat dan bukan cuma basa-basi.
#BedahEditorialMI #EditorialMediaIndonesia #CegahKorupsiJanganCumaBasaBasi #Korupsi #KPK
-----------------------------------------------------------------------
Follow juga sosmed kami untuk mendapatkan update informasi terkini!
Website: [ Ссылка ]
Facebook: [ Ссылка ]
Instagram: [ Ссылка ]
Twitter: [ Ссылка ]
TikTok: [ Ссылка ]
Metro Xtend: [ Ссылка ]
Ещё видео!