Petani di Indonesia menjadi kuli di atas tanah bekas miliknya sendiri karena semakin menyempitnya lahan pertanian akibat ketentuan yang mengatur tentang penyewaan lahan yang diatur dalam UU Perlindungan Petani. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Agraria Universitas Brawijaya Achmad Sodiki ketika menjadi Ahli Pemohon dalam pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlindungan Petani) pada Kamis (13/2) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara dimohonkan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Penderitaan petani terus berlanjut dengan adanya UU tersebut. Pemerintah pun menjanjikan land reform plus dengan membagi tanah terlantar kepada petani. Sodiki mengungkapkan jumlah tanah yang dijanjikan juga terbilang fantastis, yakni 8,7 -- 11 juta hektar. "Akan tetapi kenyataannya, negara dapat begitu saja memberikan tanah kepada para pemilik modal besar, namun pelit pada para petani kecil," paparnya.
Ketentuan sewa tanah pertanian yang tercantum dalam UU Perlindungan Petani, menurut Sodiki harus dihapus. Pasal 59 UU Perlindungan Petani justru menghidupkan kembali praktik persewaan tanah pada zaman Hindia Belanda yang berpotensi merugikan petani. "Hal ini bisa memeras petani dan tidak memberikan kepastian hukum," imbuhnya.
Dalam sidang tersebut, Pemerintah menghadirkan beberapa orang saksi yang menerangkan tidak adanya kerugian konstitusional yang dialami akibat adanya UU Perlindungan Petani. Ketua Kelompok Tani Gili Raharja, Sukabumi, Maman Suparman, menyatakan dengan adanya Kelompok Tani yang diatur dalam UU Perlindungan Petani membawa dampak berkembangnya pendapatan dan produksi yang dilakukan petani. "Kelompok Tani memiliki kebersamaan dan dapat bersatu dalam menyelesaikan konflik bersama," tuturnya.
Pemohon mendalilkan merasa dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 59 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, khususnya sepanjang frasa "hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan. Menurut Para Pemohon, frasa tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Sebab, Para Pemohon beranggapan hak sewa dapat diartikan petani menjadi petani penggarap yang membayar sewa kepada negara itu merupakan ketentuan yang melanggar prinsip dari hak menguasai negara. Seharusnya, negara tidak memiliki tanah garapan tersebut namun negara seharusnya hanya merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan.
Selain itu, Para Pemohon juga beranggapan bahwa Pasal 59 UU a quo sepanjang frasa yang sama bertentangan dengan Pasal 28d ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Para Pemohon berargumen bahwa Pasal 44 dan Pasal 45 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mengatur hak pakai yang mempunyai hak sifat-sifat khusus disebut tersendiri. Hak sewa sejatinya hanya disediakan untuk bangunan-bangunan, sedangkan hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat sementara. (Lulu Anjarsari/mh)
Ещё видео!