MetroTV, Dugaan Manipulasi Verifikasi Parpol UPAYA pemberantasan korupsi masih bolong di sana sini. Banyak celah kelemahan institusi yang semestinya berperan mencegah maupun dalam penindakan pelaku korupsi.
Tidak mengherankan bila pejabat korup terbilang masih nyaman mencuri uang rakyat. Dengan memanfaatkan berbagai kelemahan tersebut, kecil kemungkinan mereka tertangkap.
Keluhan mengenai kelemahan itu pun dilontarkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata. Ia menyentil Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan inspektorat.
Hasil audit yang dilakukan oleh BPK disebutnya belum mampu mengungkap banyak pelaku korupsi. Demikian pula inspektorat yang semestinya menjadi garda terdepan pengawasan pengelolaan instansi.
Keluhan pimpinan KPK tersebut menguatkan tanda tanya publik tentang kinerja BPK. Sekian banyak instansi maupun daerah yang laporan keuangannya dinilai baik oleh BPK, ternyata kemudian pejabatnya tepergok korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa. Apa betul indikasi penyelewengannya tidak terdeteksi dalam audit?
BPK maupun auditor kerap berlindung di balik dalih bahwa hasil audit yang menunjukkan pelaporan keuangan berpredikat wajar tanpa pengecualian tidak berarti pasti bersih dari korupsi. Bila demikian, mengapa pula tidak sedikit muncul kasus suap terhadap auditor maupun pejabat BPK agar mendapat penilaian baik?
Suap tersebut menunjukkan ada kepentingan pelaku korupsi untuk menyamarkan penyelewengan di laporan keuangan. Mereka tahu bila tidak disamarkan, auditor akan mudah menemukan praktik culas koruptor.
Keluhan pimpinan KPK memperlihatkan betapa minimnya kontribusi BPK dalam pelaporan indikasi korupsi. Yang diharapkan, BPK menyampaikan temuan indikasi penyelewengan tersebut. Kemudian, KPK bersama BPK bisa menelusuri lebih lanjut untuk menentukan ada tidaknya dugaan tindak pidana korupsi.
Sungguh sulit dipercaya, indikasi penyelewengan jarang ditemukan pada laporan keuangan di tengah masih tingginya kasus korupsi di Tanah Air.
Skor Survei Penilaian Integritas (SPI) nasional tahun ini pun menurun jika dibandingkan dengan 2021 yang sebesar 72,43 menjadi 71,94. Semakin marak korupsi, semakin rendah skor SPI.
Bila ternyata koruptor piawai mengelabui auditor, berarti ada persoalan kompentensi yang mengkhawatirkan di tubuh BPK. Lebih gawat lagi jika ternyata banyak auditor BPK yang berintegritas bobrok.
Taring pemberantasan korupsi juga tumpul oleh daya dukung peraturan perundangan. Belum lama ini terungkap di persidangan betapa fantastisnya biaya dapur Ferdy Sambo, mantan petinggi Polri yang menjadi terdakwa kasus pembunuhan anak buahnya.
Dengan gaji Rp35 juta, pengeluaran rumah tangganya disebut mencapai Rp300 juta per bulan. KPK lantas mengatakan banyak pejabat maupun aparatur negara yang memiliki rekening gendut yang tidak sebanding dengan gaji mereka.
Sayangnya, KPK tidak berdaya mengusut karena keterbatasan dukungan peraturan. Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) misalnya, memang diwajibkan, namun tidak ada sanksi bagi yang melanggar. KPK juga tidak berhak memublikasikan LHKPN yang belum lengkap seperti milik Ferdy Sambo, kendati statusnya tercatat sudah menyampaikan LHKPN.
Patut diduga Ferdy dan banyak pejabat lainnya sengaja tidak kunjung melengkapi dokumen pelaporan kekayaan mereka karena banyak aset kekayaan yang mencurigakan. Kita balik saja, kalau memang tidak demikian, kenapa tidak patuh menyampaikan secara lengkap.
Pemberantasan korupsi memerlukan komitmen politik yang kuat. Aparat penegak hukum juga tidak bisa bekerja sendiri, karena membasmi korupsi menuntut kerja bareng dalam mempertajam pengawasan. Jangan biarkan koruptor nyaman merampok negara.
#editorial #sidangsambo #pemilu2024
#Metrotv #topreviewmetrotv
Ещё видео!