Wayang Kulit Lawas Ki Sugino Siswocarito Full Lakon Arjuna Siksa
Menyinggung wayang di Banyumas, tak bisa dilepaskan dari tokoh yang satu ini. Dalang yang jadi panutan bagi maoritas dalang Banyumasan era sekarang. Bahkan dengan kreatifitasnya, banyak yang menyatakan Beliau menciptakan Gagrag tersendiri yaitu Gagrag Ginoan. Penggemarnya tak cuma wilayah Banyumasan (Banyumas, Purwokerto, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen) namun sampai Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Ia juga kerap pentas di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta.
Ki Sugino Siswocarito lahir tanggal 17 Agustus 1937 di Desa Sawangan Kecamatan Cilongok Banyumas. Anak seorang Kepala Sekolah, Siswomiharjo sedangkan ibunya bernama Dasirah. Orang tuanya yang pernah menjadi kepala desa dan tergolong keluarga berkecukupan. Namun Gino muda tidak tertarik ketika ditawari untuk menggantikan kedudukan sang ayah sebagai kepala desa. Namun Beliau memilih menjadi dalang.
Sering orang menyebut Gino sebagai “dalang rame”. Ia memang sering membawakan lakon-lakon yang ramai dan disukai anak muda, seperti Antasena Gugat, Petruk Dadi Ratu, Petruk Nagih Janji, Gareng Urile Ilang, Laire Wisanggeni, dan lain-lain. Ia sering berimprovisasi dan membuat jalan cerita dengan variasi yang berbeda, sehingga sering dituding merusak atau keluar dari pakem. Menghadapi para pengkritik, Gino punya jawaban. “Pakem itu kan buatan manusia. Zaman sudah berubah. Ini memaksa saya untuk menyuguhkan apa yang dikehendaki penonton”, katanya.
Sekarang ini yang digemari adalah lakon-lakon dengan tokoh muda wayang sebagai pahlawannya, seperti Antasena dan Wisanggeni muncul, penonton senang. Kedua tokoh muda wayang itu digemari mungkin karena berani, jujur, cablaka (terus terang, tidak tedeng aling-aling), demokratis dan sakti. Keduanya juga selalu berbahasa ngoko (bahasa sehari-hari) terhadap siapa saja- ciri khas generasi muda yang ingin “memberontak” dan anti kemapanan.
Menurut Gino, “Saya tetap berpegang pada pakem”. Improvisasi yang dilakukan, semata agar penonton merasa puas.” Boleh menuduh saya menyimpang dari pakem, kalau misalnya saya mainkan Gatutkaca sebagai anaknya Arjuna, Wisanggeni anaknya Kresna atau Adipati Karno matinya oleh Bima.” Katanya.
Gino tampaknya sadar bahwa wayang kulit adalah tontonan . Karena itu, penonton harus dipikat dan dipuaskan. Itu dilakukan dengan tata lampu yang menarik, cara membuka cerita dan sabetan. Tata lampu yang dipadukan dengan hentakan suara gendang atau gending, membuat pagelaran terasa gayeng, lebih hidup dan menarik. Melesatnya anak panah yang dibarengi suara berdesing dan kilatan lampu, membuat penonton seolah tidak berkedip dan betah sampai pagi.
Ki Gino berkeyakinan, wayang tetap akan digandrungi penonton, selama dalang mampu membuktikan bahwa wayang ternyata menarik dan bisa memuaskan penonton. Jadi, katanya, “Tergantung bagaimana dalang membawakannya.” Kelebihan Gino yang lain adalah karena ia mampu memanag tim yang terdiri dari nayaga dan pesinden.
Seabagai trend setter, Gino akhirnya diakui. Banyak dalang muda Banyumas yang mengikuti jejaknya. Ketika tampil di gedung Sasana Hinggil Kraton Yogyakarta, ia diminta tampil dengan gayanya yang khas. Padahal, ia juga menguasai gagrag Yogyakarta atau Surakarta.
Ещё видео!