Roberto Rojas adalah salah satu talenta sepakbola terbesar yang pernah dilahirkan Chile. Lahir pada 8 Agustus 1957, menghabiskan masa kecilnya dengan bermain sepakbola di gang-gang sempit berdebu di Santiago, tentu sebagai kiper, Rojas mengawali karier profesionalnya di klub lokal Aviacion pada umur 19 tahun. Dua tahun kemudian, dia pindah ke klub paling sukses dalam sejarah sepakbola Chile, Colo-Colo. Bersama Colo-Colo, Rojas meraih gelar Liga Chile tahun 1981, 1983, dan 1986. Saat bermain di Colo-Colo ini- lah, Rojas mendapatkan julukan yang sangat dibanggakannya, "Condor", atau sang Rajawali. Tahun 1987, Rojas melebarkan sayapnya saat hijrah ke Brasil untuk bergabung dengan salah satu klub paling tenar di negeri sepakbola itu, São Paulo FC.
Namun, obsesi terbesar Rojas adalah tim nasional Chile. "Hal yang paling aku inginkan adalah menjadi penjaga gawang, menjadi penjaga gawang bagi negaraku," kata Rojas. Dan, Rojas tak perlu menunggu lama untuk cita-citanya itu. Pada umur 22 tahun, yang artinya hanya tiga tahun setelah dia memulai karier sepakbolanya, Rojas telah dipanggil untuk memperkuat tim nasional.
Chile tidak tergolong negara kuat di kancah sepakbola Amerika Latin, lebih-lebih pada dekade 80-an. Di Copa America, mereka belum pernah juara. Sementara, putaran final Piala Dunia terakhir yang mereka ikuti adalah Piala Dunia 1982 di Spanyol, itu pun hanya sampai putaran pertama setelah mereka mengalami tiga kekalahan di babak penyisihan grup. Dengan Rojas di depan mulut gawang, Chile mulai merintis masa-masa cukup bagus di kancah sepakbola internasional. Pada Copa America 1987 di Argentina, Chile sukses masuk ke final, tapi kalah dari Uruguay.
Meskipun begitu, ia tidak saja ingin menjadi penjaga gawang bagi negaranya, tapi penjaga gawang bagi negaranya di pentas Piala Dunia. Karena itu, setelah membawa Chile ke final Copa Amerika 1987, tak ada mimpi lain bagi Rojas, kecuali membawa Chile berlaga di Piala Dunia 1990 Italia.
Mimpi Rojas itu bukan perkara gampang. Dan, dia tahu itu. Maka, Rojas menempuh segala cara untuk mewujudkan mimpinya. Namun, ujungnya sungguh tragis. Tak hanya bagi dirinya, tapi juga bagi negara yang ga- wangnya selalu ingin dia jaga.
Tanggal 3 September 1989, Chile harus melakukan pertandingan hidup-mati. Mereka harus memenangi pertandingan itu jika masih ingin berlaga di Piala Dunia 1990 Italia. Sungguh disayangkan, lawan yang mereka hadapi di kandang saat itu adalah Brasil. Yang lebih mengerikan, mereka mesti meladeni tuan rumah di salah satu kuil sepakbola paling angker di dunia: Stadion Maracaña.
Tapi, Chile sama sekali tidak gentar. Pada pertemuan sebelumnya, mereka berhasil menahan Brasil 1-1 di Santiago. Maka, meskipun kini mereka akan menghadapi Brasil di Rio de Jeneiro, di depan 180.000 pendukung yang menguningkan Maracaña, Chile sangat mungkin menang. Keyakinan ini dipegang oleh publik Chile.
Keyakinan itu masih terpegang erat oleh rakyat Chile dan segenap skuad La Roja (Si Merah) ketika mereka mampu menahan gempuran para pemain Brasil hingga waktu turun minum tiba. Namun, empat menit setelah kick-off babak kedua dimulai, keyakinan itu terancam saat Brasil memimpin 1-0 untuk tuan rumah.
Bagi Rojas, sang Rajawali dari Andes itu, sebiji gol Brasil tetap tak menggoyahkan keyakinannya untuk berlaga di Italia bersama La Roja. Dan tak lama kemudian, kerumunan pendukung Brasil di tribun belakang gawang Chile mulai melemparkan sesuatu ke arah mulut gawang Chile. Pada awalnya kerikil, lalu uang receh, kemudian baterai. Saat yang ditunggu Rojas itu pun datang.
Saat pertandingan memasuki menit 60-an, menyusul benda-benda lainnya, kembang api milik seorang pendukung Brasil bernama Rosemary de Mello meluncur ke arah gawang Chile. Tak ada seorang pun yang melihat kembang api itu mengenai penjaga gawang Chile. Namun, detik berikutnya seisi Stadion Maracaña melihat Roberto Rojas, dengan tubuh dikelilingi oleh kepulan asap, telah terkapar di depan mulut gawangnya sembari mendekap mukanya. Ketika teman-temannya menggotong Rojas keluar lapangan beberapa saat kemudian, kamera televisi menyorot wajahnya yang berdarah-darah. Pelatih Chile Orlando Aravena, atas desakan kapten kesebelasan Fernando Astengo, meminta agar pertandingan dihentikan dengan alasan keamanan. Pertandingan akhirnya dihentikan pada menit ke-65.
Untuk full lengkapnya ada di video ini ya:)
#football #beritabola #beritaterkini #kabartimnasberitatimnasindonesia #cristianoronaldo #sepakbola #meeshilgersbersamatimnasindonesia #manchesterunited #GELANDANGSERANG20
Ещё видео!