Ternyata Begini Kondisi Jenazah Pierre Tendean Menurut Kesaksian Sahabatnya
Ini kesaksian mengerikan kawan Pierre Tendean di Atekad saat lihat langsung kondisi jenazah sahabatnya di RSPAD. Kawan seangkatan Pierre Tendean di Atekad yang sempat melihat langsung kondisi jenazah Pierre Tendean itu bernama Thomas.
Dalam buku, "Sang Patriot Kisah Seorang Pahlawan Revolusi, Biografi Resmi Pierre Tendean, " yang disusun Abie Besman, Iffani Saktya, Irma Rachmania Dewi, Laricya Umboh, Neysa Ramadhani, Noviriny Drivina dan Ziey Sullastri, diceritakan, menurut kesaksian Thomas, salah seorang teman seangkatan Pierre di Atekad, dia sempat datang ke kamar jenazah RSPAD tempat para jenderal dan Pierre diidentifikasi dan diperiksa luka-luka di tubuh mereka.
Thomas mendapat kesempatan untuk melihat kondisi jenazah sahabatnya itu terakhir kalinya setelah dimandikan. Kamar jenazah waktu itu sudah sepi dan Thomas masuk diajak oleh Lettu Try Sutrisno yang juga lulusan Atekad. Try Sutrisno yang kelak jadi Panglima ABRI dan Wakil Presiden adalah seniornya Pierre Tendean di Atekad.
Thomas menyaksikan posisi Pierre Tendean dengan kedua tangan yang seperti memeluk guling dan yang paling mencolok adalah luka menganga di kepalanya. Thomas yakin, besar kemungkinan Pierre mengalami kekerasan di bagian kepala itu dari penggunaan bambu.
Menurut Thomas, benturan atau poporan senjata sangatlah berbeda bentuk dan cirinya. Ciri tiga luka menganga di kepala Pierre Tendean sangat mirip dengan ciri luka karena bambu runcing daripada poporan senjata.
Thomas meyakini bahwa mereka sudah mempersiapkan bambu runcing untuk dibawa ke Lubang Buaya dan digunakan untuk menyiksa para tawanan, termasuk Pierre Tendean. Saat itu juga muncul versi lain dari kekerasan yang dialami Pierre. Menurut harian Berita Yudha pada 9 Oktober 1965, dan belakangan menjadi catatan sejarah pegangan Orde Baru, penyiksaan terhadap Pierre Tendean sangat sadis.
Lain lagi kesaksian Soeseno yang juga kawan satu angkatan Pierre Tendean di Atekad. Ketika peristiwa Gerakan 30 September meletus, Soeseno sedang bertugas di Yonzipur I yang berkedudukan di Medan Sumatera Utara. Kala itu, para perwira Yonzipur I kebetulan sedang berkumpul di mes perwira yang terletak di Jalan Kemuning 3, Medan, dekat stasiun pada malam 30 September 1965. Mess itu berbentuk rumah panggung khas Medan, yang terbuat dari kayu.
Mereka tidur beramai-ramai di lantai dua dengan menggunakan tikar yang digelar. Tidak ada yang mau tidur di Lantai bawah karena rumah itu terkenal angker.
Kejadian berbau mistis pun dialami oleh Soeseno. Ketika itu, menjelang subuh 1 Oktober 1965, pukul 02.00 atau 03.00 dini hari, Soeseno terbangun oleh guncangan keras, seakan-akan lantai kayu mess perwira bergoyang-goyang.
Soeseno pun lalu membuka mata, dan tiba-tiba dia melihat Pierre Tendean melintas di depannya dan berhenti sebentar menatap dirinya. Jelas saja Soeseno kaget dan bertanya-tanya dalam hati ada apa ini, apa yang terjadi dengan Pierre Tendean, sahabatnya itu.
Keesokan harinya, sebelum radio menyiarkan tentang Gerakan 30 September, Soeseno menceritakan pengalamannya ini kepada Setijono Hadi, dan disanggah Setijono, mengganggap Soeseno terlalu percaya pada takhayul dan meminta Soeseno melupakannya saja karena itu hanya mimpi.
Pada pagi harinya saat mereka mendengarkan siaran RRI pada pukul 07.00 itu, baru terbitlah kekhawatiran di hati semua rekan Pierre Tendean di Yonzipur 1. Berita cepat berkembang dan tersebar dari Jakarta ke Medan. Setijono Hadi dan Satrijo Wibowo meneteskan air mata menghubungkan nasib Pierre Tendean dengan mimpi Soeseno beberapa jam sebelumnya.
Meskipun belum ada kabar tentang kejelasan dari para perwira yang diculik, mereka, khususnya Soeseno sudah maklum dan bersiap untuk kemungkinan terburuk keadaan sangat genting dan salah satu sahabat baiknya, Pierre Tendean, telah gugur menjadi korban aksi keji komplotan G30S PKI.
Ещё видео!