Jathilan adalah kesenian tradisional yang berkembang di wilayah Yogyakarta, Klaten, Magelang, dan sekitarnya. Bagi masyarakat Jawa Timur, jathilan sering disebut dengan istilah jaranan atau jaran kepang, sementara di Banyumas disebut dengan ebeg. Pada masyarakat Indonesia pada umumnya banyak yang menyebut dengan istilah kuda kepang atau kuda lumping. Kesenian jathilan meluas hingga ke luar Pulau Jawa, seperti hampir sebagian besar Sumatera, Kalimantan, Malaysia, bahkan hingga ke Suriname.
Jathilan telah lama menjadi hiburan tradisional yang merakyat. Jathilan itu sendiri sebagai kesenian rakyat yang merakyat dengan menggabungkan seni musik, gerak, lagu, dan tentu saja magis. Menurut Mangunsuwito, (2002: 76) jathilan adalah tontonan jejogèdan nganggo nunggang jaran képang (tontonan tari-tarian dengan menggunakan kuda kepang). Jathilan merupakan sebuah tarian rakyat yang sangat dikenal di Jawa. Jathilan diperagakan oleh enam atau delapan orang penari yang masing-masing menunggang kuda kepang. Kuda kepang terbuat dari anyaman bambu apus yang dianyam menjadi kepang dan dipotong dengan pola kuda, lalu dicat. Sebenarnya jathilan merupakan satu-satunya peninggalan tarian rakyat dari zaman masyarakat primitif yang ada sangkut pautnya dengan kepercayaan totemisme, dan mungkin pula upacara ritus (inisiasi) bagi seorang laki-laki yang sudah menginjak dewasa, (Soedarsono, 1972). Begitu pula Sumaryono (2012) menyatakan bahwa capaian-capaian estetik-artistik bukanlah yang utama bagi para seniman jathilan dalam pementasan-pementasan ritus sosial pedesaan. Hal ini karena pada dasarnya jathilan sebagai sarana menghormati roh-roh leluhur dan alam sekitarnya.
Saat ini fenomena kesenian jathilan lebih sering dipentaskan di area terbuka seperti lapangan atau halaman rumah penduduk. Antara penonton, penabuh musik, dan para penarinya karena jathilan merupakan bentuk ekspresi kegembiraan semua rakyat. Hal ini sejalan dengan pendapat Kuswarsantyo (2014: 52) perkembangan kesenian jathilan terjadi seiring dengan bergulirnya era industri pariwisata yang ditandai dengan pencanangan program pariwisata oleh pemerintah. Ia menambahkan bahwa permasalahan estetik yang muncul saat ini sangat kompleks terkait dengan sumber acuan cerita, koreografi, pengembangan iringan, kostum, properti, hingga munculnya beragam jenis jathilan. Hal ini senada dengan Husada (2018: 591) bahwa kesenian jathilan masyarakat Yogyakarta sangat dipengaruhi oleh bahasa, lingkungan sosial budaya, dan cara pandang dalam menghargai dan menghormati lingkungan alam dan sesama secara turun-temurun. Proses dinamika sosial dan perjumpaan masyarakat luar Yogyakarta membawa unsur-unsur budaya dan terjadi interaksi budaya sehingga membentuk pola baru pada kesenian jathilan.
Ещё видео!