Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pada Selasa (22/1/2019). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 4/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh seorang dosen bernama Jupri (Pemohon I) dan dua mahasiswa, yakni Ade Putri Lestari (Pemohon II) dan Oktav Dila Livia (Pemohon III). Para Pemohon menguji Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.
Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.” Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan, “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”
Pemohon menyoroti kata “nasional” dalam penjelasan norma tersebut. Menurut Pemohon, pelaku tindak pidana korupsi dalam dana penanggulangan bencana alam seolah-olah dilindungi oleh norma di atas sepanjang status bencana alam yang dananya dikorupsikan tersebut tidak ditetapkan sebagai bencana alam nasional.
Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan setelah bencana alam yang terjadi di Palu dan Donggala tahun 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan pipa high density polyethylene (HDPE) di daerah tersebut. Pemohon juga menjelaskan temuan lain, yaitu dugaan korupsi di beberapa proyek pembangungan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Pemohon berargumen, dengan tidak ditetapkannya status bencana alam nasional di Palu dan Donggala, Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menjadi tidak dapat diterapkan.
“Tindak pidana korupsi seharusnya termasuk dalam jenis kejahatan luar biasa, bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan, apalagi jika hal tersebut dilakukan dalam upaya penanggulangan bencana alam. Pemohon berargumen bahwa sanksi pidana hukuman mati seharusnya diterapkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan bencana alam, terlepas ditetapkan berstatus nasional atau tidak,” kata kuasa hukum Pemohon, Victor Santoso Tandiasa.
Berdasarkan hal tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan kata “nasional” setelah frasa “bencana alam” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kerugian Hak Konstitusional
Menanggapi dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempertanyakan hal yang merugikan hak konstitusional Pemohon. Palguna mengingatkan kuasa hukum Pemohon, Victor dan rekan yang sudah sering beracara di MK, soal pentingnya menguraikan kedudukan hukum Pemohon. Karena kalau tidak bisa menguraikan kedudukan Pemohon, hal ini akan menyulitkan Majelis Hakim MK.
“Penjelasan soal kerugian konstitusional Pemohon dikaitkan dengan kualifikasi Pemohon sebagai peorangan warga negara Indonesia harus jelas. Setelah itu barulah masuk ke alasan permohonan untuk membangun argumentasi mengapa pasal yang diuji bertentangan dengan Konstitusi,” ucap Palguna.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan dirinya tidak mendapatkan argumentasi yang cukup mengenai kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon. “Kecuali kalau Pemohon salah satu korban bencana di Donggala misalnya, yang kemudian muncul kasus korupsi. Kemudian kasus korupsi itu bisa Anda jelaskan lebih detail. Penanganannya mungkin tidak menggunakan tindak pidana korupsi tetapi menggunakan tindak pidana umum,” tandas Enny. (Nano Tresna Arfana/LA)
Ещё видео!