Kebijakan pemotongan dan penundaan dana pemerintah pusat ke daerah bertujuan untuk menjaga stabilitas keuangan negara. Selain itu, kebijakan tersebut berfungsi untuk efisiensi penggunaan anggaran di daerah. Hal tersebut disampaikan oleh pakar ekonomi Universitas Andalas Hefrizal Handra selaku ahli Pemerintah dalam sidang lanjutan uji materiil Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2017 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran (APBN) Tahun 2018, pada Rabu (4/4).
Dalam sidang mendengarkan keterangan ahli dari pemerintah tersebut, Hefrizal menjelaskan sangat tidak tepat jika penundaan dan/atau pemotongan dana transfer ke daerah secara terukur dianggap melanggar konstitusi. “Justru penundaan dan pemotongan sewaktu-waktu akan diperlukan sebagai upaya untuk menjaga stabilitas keuangan negara, dan juga diperlukan untuk upaya memenuhi ketentuan perundang-undangan dalam rangka menjalankan amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ini akan berefek pada upaya pemenuhan hak warga negara untuk mendapatkan layanan pendidikan kesehatan, jaminan sosial, dan layanan di tingkat desa menjadi lebih baik,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Hefrizal menyebut pemotongan dan/atau penundaan akan memaksa pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggarannya secara lebih tepat dan memenuhi ketentuan konstitusi. Hal ini pada akhirnya akan berdampak bagi perbaikan pelayanan publik di daerah.
Realisasi dana bagi hasil SDA, lanjut Hefrizal, akan ditentukan oleh organisasi penerimaan negara yang terkait. Realisasi penerimaan negara dari SDA pada tahun 2016 hanya mencapai 72% dari anggaran. Sehingga wajar jika realisasi DBH, SDA yang diterima Kabupaten Kutai sekitar 70%.
Sementara Machfud Sidik yang juga menjadi ahli Pemerintah menyinggung tentang hubungan desentralisasi dan penggunaan anggaran negara. Ia menyebut pelaksanaan desentralisasi di berbagai negara termasuk juga di Indonesia memerlukan kehati-hatian. Menurutnya, perlu adanya pengendalian, pendisiplinan pemakaian dana-dana terutama yang berasal dari APBN maupun APBD. “Praktik-praktik internasional menyatakan bahwa kebijakan yang dikenal dengan hard budget constraint, yaitu pendisiplinan anggaran itu menjadi sangat penting,” jelasnya.
Machfud berpendapat ketentuan pada Pasal 15 ayat (3) huruf d merupakan salah satu bentuk dari kebijakan yang secara teori dan best practice dikenal dengan hard budget constraint. Hal ini mengandung arti pendisiplinan anggaran pemerintah pusat maupun daerah yang secara best practice dilaksanakan oleh berbagai negara, khususnya untuk menghindari dampak negatif dari kebijakan desentralisasi yang terlalu longgar yang pada umumnya diterapkan oleh negara-negara yang pemerintah pusatnya kurang kuat dalam melaksanakan desentralisasi.
Pemohon juga menilai, Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN Tahun 2018 merupakan bentuk kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan telah terjadi ketidakpastian hukum yang tercermin dari seringkali terjadinya perubahan peraturan presiden mengenai rincian anggaran yang ditransfer ke daerah, tidak konsisten, tidak adil dan selaras, serta proporsional sesuai dengan perhitungan dana transfer sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan. (ARS/LA)
Ещё видео!