Sejarah pemberontakan Ra Kuti terjadi pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328),
Raja ke 2 Majapahit, tepatnya tahun 1241 Saka atau 1319 Masehi.
Aksi Ra Kuti yang dianggap berbahaya bagi Kerajaan Majapahit ini akhirnya bisa ditumpas oleh Gajah Mada.
Ra Kuti merupakan anggota Dharmaputra yang dibentuk Raden Wijaya bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309),
ayahanda Jayanagara sekaligus raja pertama dan pendiri Kerajaan Majapahit.
Dharmaputra berjumlah 7 orang, yaitu Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa.
Dikutip dari Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakertagama (2006),
dijelaskan bahwa Dharmaputra merupakan pejabat tinggi yang memiliki kedudukan khusus di Majapahit.
Kitab Pararaton menyebut Dharmaputra sebagai "pengalasan wineh suka" atau "pegawai istimewa yang disayangi raja".
Sebelum pemberontakan Ra Kuti, internal istana Majapahit pernah diguncang intrik nyaris serupa
yang melibatkan nama Ra Semi, seorang anggota Dharmaputra lainnya.
Aksi Ra Semi diperkirakan terjadi antara tahun 1316 hingga 1318 Masehi.
Latar Belakang Pemberontakan Ra Kuti
Pemberontakan Ra Kuti didasari rasa tidak puas atas keputusan raja.
Ra Kuti dan beberapa Dharmaputra lainnya menilai Raja Jayanagara berkarakter lemah dan mudah dipengaruhi.
Asal-usul pemberontakan rak kuti diduga juga menjadi alasan ketidaksukaan para Dharmaputra, terhadap sang raja.
Meskipun ditunjuk sebagai putra mahkota, Jayanagara bukanlah anak Raden Wijaya dari istri permaisuri, melainkan dari istri selir.
Ibunda Jayanagara adalah Dara Petak, putri Kerajaan Dharmasraya dari Sumatera.
Putri ini dibawa dari Ekspedisi Pamalayu, suatu upaya operasi penaklukan oleh Kerajaan Singasari pada 1275 hingga 1286 M.
Terlebih, Jayanegara berdarah campuran, bukan turunan murni dari Kertanagara.
Kerajaan Singasari merupakan pendahulu Kerajaan Majapahit.
Sebelum mendirikan Majapahit pada 1293, dinukil dari Menguak Tabir Perkembangan Hindu (1998) karya Wayan Nurkancana,
Raden Wijaya adalah senapati alias panglima perang sekaligus menantu Raja Singasari, yakni Kertanegara (1268-1292).
Menurut Negarakretagama, Raden Wijaya menikah dengan 4 orang putri Kertanagara,
yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri.
Tribhuwaneswari dipilih sebagai permasiuri.
Sedangkan Paraton menyebut Raden Wijaya hanya mengawini 2 orang putri Kertanegara.
Riwayat Singasari tamat pada 1292 setelah Kertanegara tewas dalam pemberontakan Jayakatwang,
Bupati Gelang-gelang (sekitar Madiun sekarang). Raden Wijaya yang lolos dari insiden tersebut kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit
di tepi Sungai Brantas, tepatnya di sekitar Mojokerto.
Sepeninggal Raden Wijaya yang wafat pada 1309 M dan seiring penobatan Jayanagara sebagai penerus singgasana Majapahit,
mulai muncul gerakan perlawanan dari orang-orang ring satu sendiri, termasuk yang dimotori oleh Ra Semi dan Ra Kuti.
Dalam menjalankan aksinya, Ra Kuti berhasil mengajak beberapa angggota Dharmaputra lainnya untuk berusaha mendongkel takhta Raja Jayanagara,
yakni Ra Tanca, Ra Banyak, Ra Yuyu, Ra Pangsa dan Ra Wedeng.
Peran Penting Gajah Mada
Yusak Farchan dan Firdaus Syam melalui penelitian bertajuk "Tafsir Kekuasaan Menurut Gajah Mada" yang terhimpun dalam Jurnal Politik (Volume 11, 2015),
menuliskan bahwa peran Gajah Mada banyak disebut saat terjadi pemberontakan Ra Kuti pada 1319 Masehi.
Ещё видео!