Senin, (18/1/2021), saya menghadiri secara langsung Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Direktur Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian, Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kementerian Pertanian RI.
Hadir juga Deputi II Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, Direktur Utama PT Pupuk Indonesia, dan Ketua Umum Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA).
Pertanyaan besar dan mendasat terkait subsidi pupuk adalah: Subsidi pupuk untungkan siapa? Siapa yang menikmati subsidi pupuk?
Pertanyaan reflektif ini harus direfleksikan oleh setiap pemangku kebijakan pupuk subsidi.
Dalam Rapat Pembukaan Pembangunan Pertanian pada Senin (11/1/2021), Presiden Joko Widodo (Jokowi) pertama kali menyuarakan kemarahan atas subsidi pupuk yang tidak berdampak pada peningkatan produktivitas pangan.
Subsidi pupuk tiap tahun mencapai Rp. 30 triliun, tetapi masih saja kita mengimpor.
Kemarahan Presiden adalah kemarahan Komisi IV DPR RI dan terutama kemarahan petani atas carut marut pupuk subsidi.
Itu berarti, persoalan pupuk bukan persoalan sederhana, dibutuhkan kerja keras untuk mengatasinya.
Secara konseptual, pemberian subsidi pupuk menunjukan keberpihakan negara kepada petani, yakni meringankan beban petani untuk mendatangkan pupuk dengan harga yang terjangkau.
Namun, secara faktual, subsidi pupuk tanpa data akurat dan pengawasan ketat berpotensi membuka jalan pada praktik mafia pupuk (rent seeking).
Persoalan pupuk bukan hanya pada aspek manajerial dan distribusi, tetapi pada praktik mafia pupuk yang sering mempermainkan pasar.
Akibatnya, saya mendapat keluhan dari petani di Timor, Rote, Sumba dan Flores bahwa prinsip 6T, yakni tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu jauh dari ideal.
Perlu ada transparansi dalam kebijakan pupuk bersubsidi, dari hulu hingga hilir, dari produksi hingga distribusi dan penggunaan.
Saya mendesak Komisi IV DPR RI untuk mendatangi pabrik pupuk dengan membawa pakar pupuk, ahli teknis mesin dan ahli kimia independen untuk menghitung-menghitung harga pokok produksi pupuk.
Jangan sampai biaya produksi pupuk tidak dikawal sehingga infefisiensi dan pemborosan produksi yang memakan anggaran negara dibiarkan begitu saja.
Saya juga menyoroti kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi. Apakah betul presentasi dari paparan bahwa kenaikan HET adalah permintaan petani?
Bukankan kenaikan HET pupuk bersubsidi justru merugikan petani?
Saya berharap, jajaran Kementerian Pertanian, PT Pupuk Indonesia, dan lintas kementerian yang terkait dengan kebijakan pupuk harus bekerja keras, kerja jujur, dan berpihak pada kepentingan petani.
#SubsidiPupuk #Pupuk #PupukUntukRakyat #DPRRI
Ещё видео!