“Sakai”, Suku pedalaman Riau yang harmonis dengan alam
“Sakai”, merupakan salah satu suku yang mendiami kawasan pedalaman Riau di Pulau Sumatera.
Nenek moyang Suku Sakai diyakini berasal dari Pagaruyung, sebuah kerajaan Melayu yang pernah ada di Sumatera Barat.
Dahulu, Suku Sakai memiliki pola kehidupan yang masih nomaden, berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lain.
Pola kehidupan yang masih nomaden ini meninggalkan kekayaan budaya yang menarik.
Hal tersebut terlihat dari benda peninggalan Suku Sakai yang dahulu digunakan untuk keperluan hidup mereka di pedalaman.
Benda-benda ini terbuat dari bahan baku yang sumbernya seratus persen dari alam, dan memiliki fungsi yang masih sederhana dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Garis keturunan Suku Sakai asli adalah “Matrilineal”, mengikuti keturunan kaum perempuan, seperti yang berlaku dalam budaya Minangkabau.
Dalam budaya Sakai hak wanita sangatlah besar. Semua harta benda, adalah milik perempuan. Kedudukan Kepala Suku diwariskan melalui perempuan. Anak-anak mengikuti ibunya bukan ayahnya.
Sistem kepemimpinan tradisional suku Sakai adalah ” Sistem Perbatinan”. sejenis kepala suku atau penghulu dalam budaya Melayu. Perbatinan sakai terdiri ” Batin Selapan” dan ” Batin Limo” yang menempati beberapa wilayah di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis.
Mayoritas Suku Sakai tidak memiliki mata pencaharian yang tetap, Suku Sakai pada umumnya bekerja ”serabutan” dan ”musiman”.
Masyarakat suku Sakai banyak yang beragama Islam. Namun diantara mereka masih ada yang menganut kepercayaan animisme, yakni kepercayaan terhadap kekuatan magis dan makhluk halus. Mereka menyebut makhluk gaib atau halus tersebut sebagai “Antu”.
Masyarakat Sakai percaya jika “Antu” mempunyai kehidupan seperti manusia. Jadi para “Antu” dipercaya juga hidup berkelompok dan punya pemukiman sendiri.
Rumah adat dari suku ini berjenis rumah panggung yang awalnya terbuat dari kayu dari pohon ulin.
Suku Sakai memiliki hukum yang tegas mengenai beberapa hal, misalnya hukum mengenai penebangan pohon.
Masyarakat Sakai yang diketahui menebang pohon di tanah hutan ulayat akan diberi hukuman berupa denda uang yang setara dengan perhiasan emas dalam ukuran berat tertentu.
Namun jika penebang pohon di wilayah kewenangan ulayat adalah orang-orang di luar Suku Sakai, maka orang-orang tersebut akan diusir dan bahkan bisa saja dibunuh. Oleh karena itu, hingga sekarang tidak ada seorang pun yang berani menebang pohon di hutan ulayat karena adanya sanksi dari hukum adat Sakai yang begitu tegas.
Note :
Pengerjaan content ini mulai dari naskah, dubing dan editing sepenuhnya menggunakan: Artificial Intelligence (AI), dengan memanfaatkan beberapa software dan situs online
Ещё видео!