Ini kesaksian orang yang tinggal di depan rumah Nasution saat penculikan itu terjadi. Nasution yang dimaksud adalah Jenderal Abdul Haris Nasution, Menko Hankam merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata ketika itu.
Jenderal Nasution adalah salah satu jenderal yang jadi target penculikan komplotan Gerakan 30 September pada dini hari 1 Oktober 1965. Bahkan, dia adalah target utama. Dari tujuh jenderal yang hendak diculik komplotan pimpinan Letkol Untung Syamsuri itu, Nasution, satu-satunya jenderal yang selamat dari upaya penculikan.
Nasution selamat dari upaya penculikan setelah melompat dari tembok pagar ke pekarangan Kedutaan Irak lalu sembunyi di balik drum. Para penculik yang dipimpin Letnan Doel Arief lalu pergi dari rumah Nasution setelah menangkap Lettu Pierre Tendean yang disangka Nasution. Dalam peristiwa berdarah tersebut, Ade Irma Suryani, putri terkecil Jenderal Nasution tertembak. Ade Irma meninggal pada 6 Oktober 1965, setelah sempat dirawat di RSPAD.
Sementara orang yang tinggal di depan rumah Jenderal Nasution saat peristiwa penculikan terjadi adalah Rosihan Anwar, salah seorang wartawan senior Indonesia yang sudah malang melintang sejak zaman revolusi kemerdekaan.
Kesaksian Rosihan Anwar tentang peristiwa penculikan itu dimuat dalam buku," Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional Bagian I, Rekonstruksi dalam Perdebatan." Dalam buku tersebut, Rosihan Anwar bercerita, saat penculikan terhadap Jenderal Nasution terjadi, dia tinggal persis di depan rumah sang jenderal tersebut.
"Waktu terjadi G30S saya tinggal di jalan Teuku Umar 23, paviliun, terletak di depan rumah Jenderal Nasution," kata Rosihan.
Waktu itu, dini hari sekitar pukul 02.00 lebih, dia terbangun karena mendengar tembak menembak dan keributan di rumah Jenderal Nasution.
"Tetapi tidak tahu apa penyebabnya. Rumah saya dengan rumah Nasution kira-kira 500 meter, ada jendela kaca. Jadi bisa dilihat. Saya dengan Ibu Rosihan, apa itu? Kelihatannya lampu keluar, lampu mobil. Lalu serdadu-serdadu berlarian. Udah itu jalan dua truk berangkat," tutur Rosihan Anwar mengenang kembali peristiwa jahanam yang terjadi pada dini hari 1 Oktober di rumah Jenderal Nasution, tetangganya.
Karena tidak tahu apa yang terjadi, Rosihan kembali tidur. Sampai akhirnya, dia bangun lagi, ketika dia lihat di depan halaman rumahnya banyak para prajurit dalam keadaan siaga. Ada yang pakai senapan mesin.
"Ini ada apa di pekarangan saya? Saya jalan ke depan," kata Rosihan Anwar.
Rupanya, yang ia lihat, adalah saat Pangdam Jaya Brigjen Umar Wirahadikusumah sudah datang ke rumah Jenderal Nasution. Brigjen Umar Wirahadikusumah datang ke rumah Nasution setelah ditelpon oleh Hamdan Mansyur, salah satu Ajudan Jenderal Nasution yang menelponnya usai para penculik sudah pergi.
" Saya lihat ke kiri, Pangdam Umar Wirahadikusuma pakai tank, dia di bundaran Teuku Umar, dia lagi jalan. Makin heran lagi saya. Saya lihat ke kanan ke rumah Waperdam Leimena, kok ada mayat di bungkus di sana, apa itu? Ada polisi meninggal dan kemudian ternyata Tubun. Jadi bagaimana, saya tidak tahu, ini mau cerita, tidak tahu siapa pelakunya," kata Rosihan.
Setelah itu, Rosihan mengambil sepedanya. Kala itu sudah
banyak prajurit yang ada di jalan Teuku Umar.
"Saya genjot itu sepeda pergi ke jalan Tanjung 18 dekat rumah Sudjatmoko, teman saya. Saya tanya, tahu tidak, di rumah saya tadi malam terjadi begini. Ya, ada apa ya? Lalu dia dapat telepon dari istri MT Haryono yang mengabarkan apa yang terjadi malam itu," kata Rosihan.
Menurut keterangan Sudjatmiko yang ditelpon istri MT Haryono, Jenderal Haryono juga dibawa dengan paksa oleh yang menculiknya.
"Pada waktu itu, baik Sudjatmoko dan saya, bilang ini pekerjaan PKI," kata Rosihan.
Kenapa PKI? Menurut Rosihan Anwar, tiga hari sebelumnya, MT Haryono datang ke markas Angkatan Darat lalu setelah itu berkunjung kerumah Sudjatmoko dengannya. Di rumah Sudjatmoko, ia dan MT Haryono ngobrol banyak.
Menurut Rosihan Anwar, MT Haryono menceritakan bahwa pimpinan Angkatan Darat sudah mengendus bakal ada sesuatu yang akan terjadi. Memang belum jelas itu adalah gerakan PKI. Tapi kecurigaan mengarah ke partai komunis itu.
"Tapi, baik Yani atau kepala intel waktu itu Parman tidak menganggapnya terlalu serius. Jadi itu cocok dengan cerita-cerita tadi, bagaimana pun juga it's in the air, akan terjadi. Tetapi dianggap tidak serius, tiba-tiba terjadi juga. Jadi saya pulang dari Sudjatmoko. In our mind, ini PKI, tidak bisa lagi," kata Rosihan.
Dari rumah Sudjatmoko, Rosihan lantas di antar oleh Mayjen MT Haryono pulang ke rumahnya di Jalan Teuku Umar pakai jip. Nah, saat di dalam jip, Mayjen MT Haryono kembali bercerita soal laporan-laporan yang diterima mengenai kecurigaan PKI bakal melakukan sesuatu.
"Buktinya itu keterangan MT Haryono. Dia mengantarkan saya malam itu pulang ke jalan Teuku Umar. Dia cerita lagi di mobi jipnya tentang report-report yang masuk," kata Rosihan.
Ещё видео!