JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), Rabu (9/2/2022). Perkara yang teregistrasi Nomor 15/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Dewi Nandya Maharani, Suzie Alancy Firman, Moh. Sidik, Rahmatulloh, dan M. Syaiful Jihad. Para Pemohon mendalilkan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada berbunyi, “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat pejabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal 201 ayat (11) UU Pilkada berbunyi, “Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat pejabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sulistyowati selaku kuasa hukum para Pemohon menyebutkan akibat UU Pilkada, para Pemohon kehilangan kesempatan untuk memilih kepala daerah yang diharapkan membawa kesejahteraan masyarakat, tetapi dipaksa menerima pejabat kepala daerah dikenal. Sebab, jika kepala daerah dikenal melalui kampanye yang memaparkan visi misi jika terpilih sebagai kepala daerah dan mewujudkan program kerja yang kinerjanya dapat dipantau melalui mekanisme yang berlaku. Sementara, jika pejabat hanya ditunjuk maka visi misi yang akan dijalankan dipertanyakan, utamanya pertanggungjawaban kepada masyarakat.
“Dengan pengangkatan seseorang yang ditunjuk pemerintah sebagai pengganti sementara gubernur/bupati/walikota, maka hal ini tidak mencerminkan kepentingan umum dan ketidakberpihakan. Artinya, Pemerintah tidak lagi bertindak dengan bijak demi kepentingan umum karena telah menciderai yang dipilih rakyat sebagai pemimpin daerahnya masing-masing,” jelas Sulistyowati dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Enny Nurbaningsih.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. “Menyatakan Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai yang menjadi kepala daerah adalah yang melalui proses pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung secara demokratis,” ujar Sulistyowati.
Sesuai Hukum Acara
Hakim Konstitusi Manahan dalam nasihat hakim Majelis Panel meminta agar para Pemohon mempelajari format permohonan di MK mengingat permohonan yang diajukan sangat panjang dan terjadi pengulangan. Untuk itu, diharapkan para Pemohon dapat mempedomani PMK 2/2021 untuk menyusun permohonan agar sesuai dengan ketentuan hukum acara MK. “Terkait dengan pasal yang diujikan agar para Pemohon mempelajari permohonan serupa yang telah diajukan ke MK sehingga dapat melihat penekanan perbedaan dasar pengujian dengan permohonan sebelumnya,” jelas Manahan pada para Pemohon yang mengikuti persidangan secara virtual.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny menganjurkan agar Pemohon dapat menjelaskan kedudukan hukum satu per satu dari pihaknya yang berdomisili di Jakarta, sementara norma yang diujikan tidak terkait dengan pemilihan bupati sebagaimana bunyi norma yang diujikan. Berikutnya, Enny meminta agar para Pemohon melakukan inventarisasi permohonan terdahulu yang pernah mengajukan permohonan serupa. Selain itu, Enny juga meminta agara syarat-syarat kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon lebih diperjelas dan diuraikan secara baik pada permohonan.
Selanjutnya Wakil Ketua MK Aswanto menjelaskan pada para Pemohon agar bagian kedudukan hukum (legal standing) yang masih terdapat hal yang ambigu untuk dapat dibuat lebih jelas. Sebab pada permohonan para Pemohon awalnya menyatakan hak-haknya dirugikan dan menyatakan semestinya dilakukan pemilihan pada 2022. Namun pada bagian lain, para Pemohon juga menyatakan tidak dapat memilih karena adanya pejabat pengganti. Untuk itu, sambung Aswanto, perlu bagi para Pemohon untuk melakukan elaborasi atas hak pilih yang dimiliki oleh para Pemohon. (*)
Ещё видео!